Inilah Dia Teroris Yang Dibayar Rp. 100 Juta Per Jam

Inilah Dia Teroris Yang Dibayar Rp. 100 Juta Per Jam - Miss Universe 2011, Leila Lopes nampaknya begitu istimewa di hadapan bangsa Indonesia. Faktanya, dia diundang secara resmi ke Indonesia selama 10 hari sejak Senin (3/10/2100).

Dikatakan istimewa karena kedatangan perempuan asal Angola ke negara kita dengan bayaran tak sedikit. Sebab Lopes dibayar Rp 100 juta/jam. Artinya, dalam 10 hari kunjungannya ke Indonesia, perempuan berkulit gelap tersebut bisa mengantongi uang sebanyak Rp 24 milyar. Padahal jika dikalkukasi, dana yang tidak sedikit itu dapat dipergunakan untuk memperbaiki sekitar 240 unit (dari 153.026 unit) sekolah yang rusak parah di seluruh Indonesia.

Ditinjau dari berbagai sudut pandang, kehadiran Lopes yang tidak dilarang oleh pemerintahan SBY patut disesalkan. Sebab, di zaman pemerintahan Soeharto, acara seperti ini saja pak Harto tak berkenan. Karenanya ia melarang wanita Indonesia mengirim ke ajang Miss Dunia.

Meski Soeharto banyak menanam luka sejarah bagi bangsa Indonesia, satu hal yang pasti, beliau tegas untuk beberapa hal. Utamanya upaya preventif dari bahaya pornografi dan pornoaksi.

Pada tahun 1992, kontes kecantikan nasional bertitel Puteri Indonesia diizinkan pemerintah karena masih dianggap sopan. Namun sejak tahun 1997 kontes Puteri Indonesia dilarang Presiden Soeharto karena ajang pamer aurat itu disalahgunakan penyelenggara.


http://www.hidayatullah.com/berita/gal190716153.jpg


Ini terjadi karena setahun sebelumnya, penyelenggara secara diam-diam menjadikan kontes tingkat nasional tersebut sebagai ‘batu loncatan’ untuk mengirim pemenangnya, yaitu Alya Rohali untuk mengikuti kontes Miss Universe 1996.

Suasa berubah justru ketika tahun 2000, di masa pemerintahan Gus Dur, kontes Puteri Indonesia kembali diizinkan, namun pemenangnya tidak dikirim ke kontes Miss Universe maupun Miss World. Kebijakan ini tetap dipertahankan sewaktu Megawati memimpin negara ini.

Sungguh patut disayangkan, setelah SBY berkuasa di Istana Negara, pemenang kontes Puteri Indonesia tidak dilarang, bahkan cenderung didukung untuk mengikuti kontes pamer aurat sejagad.

Kita masih ingat, di tengah penolakan sebagian besar masyarakat yang masih peduli terhadap moral bangsa, pemerintah mengizinkan dua perempuan Indonesia, yaitu Artika Sari Devi mengikuti Miss Universe 2005 dan Lindi Cistia Prabha mengikuti Miss World 2005.

Alasan pemerintah sangat klasik, bahwa keikutsertaan perempuan Indonesia ke kontes pamer aurat sedunia dianggap sebagai kebanggaan nasional dapat menjadi duta pariwisata, serta memperkenalkan pendidikan, sosial, dan budaya kita kepada masyarakat Internasional.

Betawa ngawurnya alasan pemerintah seperti ini. Mengapa ada warga negaranya yang pamer aurat di luar negeri dianggap sebagai kebanggaan nasional?

Menganggap pengiriman wanita Indonesia ke ajang Miss Universe sebagai alasan duta wisata sama saja dengan menghina kekayaan alam Indonesia yang banyak dikagumi warga dunia.

Yang terjadi sesungguhnya, pemerintah tak mampu menjual kekayaan alam bangsa kita nan Indah dalam level internasional, lalu menjadikan sebagian bangsanya berlenggak-lenggok membuka auratnya pada dunia sebagai alasan “duta pariwisata”. Jika mau berfikir dan bebuat, keindahan alam kita yang bisa dijadikan pemikat pariwisata, tak perlu dengan acara-acara seperti ini. Malaysia saja sebagai negara kecil, dan kekayaan alamnya tak sebanding dengan kita bisa melakukannya.

Antara Pornografi dan “Teroris” Moral

Belum lama ini, Menkominfo RI, Tifatul Sembiring merilis angka mengagetkan. Ia menyatakan, Indonesia adalah pengakses situs porno terbesar di dunia (Tempointeraktif.com, 4/11/2009)

Bukti lainnya adalah laporan Polri pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa kasus kejahatan seksual yang telah ditangani aparat Bhayangkara negara kita sebagian besar dilatarbelakangi oleh pornografi.

Pakar Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII), Titik Kuntari, menyatakan bahwa aborsi di Indonesia berkisar antara 2 sampai 2,6 juta/tahun, atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan. 30 persen dari kasus aborsi dilakukan remaja usia 15 – 24 tahun. (Inilah.com, 30/6/2009)

Kejahatan berupa pornografi dan pornoaksi juga memiliki saham dalam peningkatan angka kemaksiatan (perzinahan) di tengah masyarakat, terutama generasi muda. Pergaulan bebas (free sex) muda-mudi Indonesia banyak terjadi. Padahal tingginya angka pergaulan bebas berbanding lurus dengan tingginya kasus KTD (kehamilan yang tidak diinginkan), yang sebagian besar berakhir dengan kasus kejahatan aborsi.

Jika direnungkan dengan pikiran jernih, sebenarnya peserta maupun penyelenggara kontes-kontes pamer kecantikan bisa masuk dalam kategori “teroris moral” yang sangat membahayakan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.

Betapa tidak, mereka menyalahgunakan keindahan ragawi karunia Ilahi, dengan cara mempertontonkannya kepada orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya. Penyalahgunaan tersebut kita kenal sebagai pornografi/pornoaksi.

Padahal pornografi maupun pornoaksi merupakan “teror moral” yang mendorong terjadinya kemaksiatan dan kejahatan seksual di tengah masyarakat. Modus operandi “teror moral” dilakukan dengan menyebarkan gambar diam (foto) dan gambar bergerak (klip) para peserta, terutama pemenang kontes-kontes kecantikan melalui media cetak dan elektronik (terutama internet).

Apalagi, para peserta dan pemenang kontes pamer kecantikan selalu menjadikan aktivitas haram itu sebagai batu loncatan untuk menjadi “teroris moral” yang lebih berbahaya, yaitu menjadi selebritis.
Tentu saja setelah menjadi “teroris moral” bergelar ‘selebritis’, foto maupun rekaman/klip yang mempertontonkan kecantikan fisik mereka dengan begitu mudah diakses masyarakat melalui majalah, tabloid, dan situs porno.

Dampak “teror moral” yang mereka sebarkan telah mengganggu moralitas bangsa, terutama generasi muda kita.

Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk memerangi “terorisme moral” seperti ini. Penghentian “terorisme moral” melalui pornografi/pornoaksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melarang masuknya miss universe, miss world, atau teroris moral lainnya ke Indonesia. Selain itu, di dalam negeri, pemerintah juga wajib memberangus benih-benih “terorisme moral” dengan cara melarang penyelenggaraan kontes-kontes pamer kecantikan seperti kontes Puteri Indonesia dan Miss Indonesia, dan melarang wanita-wanita muda kita mengikuti ajang Miss Universe, Miss World, atau kontes pamer aurat sejenisnya di luar negeri.

Sekedar mengingatkan. Jika benar pemerintah kita ini diisi orang-orang yang beragama, mereka harusnya ingat pesan Allah SWT yang menyatakan,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur : 31)

Mengakses media porno merupakan sarana mendekati zina yang dilarang Allah SWT, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa’ : 32)

Itupun, bagi yang beragama, bagi yang tak mengerti agama atau mengaku bukan Muslim, ya bukan persoalan. Namun jika dirinya seorang Muslim, salah satu konsep yang harusnya melekat pada dirinya adalah keyakinan bahwa ajang seperti ini wajib ditolak dan tak dibenarkan agama. Namun jika mengerti dan tak menolaknya, ia sesungguhnya adalah orang-orang yang berusaha mengelabuhi agamanya sendiri.

Selain itu, Masyarakat --terutama dari kalangan ulama, akademisi, dan Ormas Islam-- tidak boleh berhenti melakukan upaya pencegahan.

Jika ada “teroris moral” dari dalam atau luar negeri masuk ke negara kita, atau kalau ada penyelenggaraan kontes pencarian ‘kader’ teroris moral di dalam negeri. Sikap kritis harus tetap dimiliki sebagai wujud amar ma’ruf nahi munkar.

Dan yang harus diingat, bangsa kita tak akan hina tanpa mengirim atau mendatangkan Miss Universe. Wallahua’lam. ( hidayatullah.com )



Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!



No comments:

Post a Comment