Minggu - Minggu Terakhir Khadafy Di Persembunyiannya — Kolonel Khadafy menghabiskan minggu-minggu terakhirnya dalam persembunyian di Sirte, kota kelahirannya. Hari-harinya hanya berisi kemarahan dan kemurungan karena rezimnya tumbang. Demikian telah diungkap oleh bekas kepala pengawalnya, Mansour Dao, seperti dilansir kantor berita AP, Selasa (25/10/2011).
Menurut Dao, mantan pemimpin Libya itu, putranya Mutassim dan serombongan berjumlah 24 loyalis penting yang siap mati nyaris tak punya hubungan dengan dunia luar ketika dalam pelarian itu. Mereka menempati rumah-rumah yang ditinggalkan warga, tanpa televisi, telepon, atau pun listrik.
Dao, seorang anggota klan Khadafy, mengatakan, sang tiran menghabiskan waktunya dengan membaca, membuat catatan, atau menyeduh teh di atas kompor batu bara. Ia membiarkan putra-putranya memikirkan rencana pertempuran. Dao yang berbicara dari sel penjaranya di Misrata mengatakan, "Dia (Khadafy) tidak memimpin pertempuran. Putra-putranya yang melakukan itu. Dia tidak merencanakan apa-apa atau berpikir mengenai suatu rencana."
Salah satu mobil dalam konvoi mantan pemimpin Libya, Moammar Khadafy, yang bertuliskan Brigade Katiba Pejuang Suci Al Rsifa dari Al Maqasba dipajang di salah satu sudut kota Misrata, Libya, Selasa (25/10).
Dao mengungkapkan, pada hari penangkapan Khadafy, sebuah konvoi yang membawa para loyalis, termasuk mantan pemimpin Libya itu dan Dao sendiri yang naik sebuah Toyota Landcruiser, telah melesat keluar dari Sirte untuk melarikan diri, tetapi kemudian terkena serangan udara NATO. Khadafy dan Dao terluka, kemudian ditangkap. Khadafy kemudian tewas pada hari itu.
Pemerintah sementara Libya telah setuju, atas tekanan internasional, untuk membuka penyelidikan atas kematian Khadafy. Para pejabat mengklaim, Khadafy tewas dalam baku tembak antara tentara pejuang revolusioner dan para loyalis. Namun, rekaman video yang muncul menunjukkan, Khadafy dipukuli, diejek, dan disiksa oleh para penangkapnya.
Peter Bouckaert dari Human Rights Watch (HRW) mengatakan, ada indikasi kuat Khadafy dan Muatassim tewas dalam tahanan. Dia mengatakan, seorang perempuan Libya yang ada dalam konvoi itu mengatakan kepada kelompok hak asasi manusia itu bahwa Khadafy hanya sedikit terluka akibat serangan NATO tersebut.
Sementara itu, Dao mengatakan, ia jatuh tak sadarkan diri akibat luka-lukanya sebelum penangkapan Khadafy dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. "Saya merasa kasihan padanya karena dia meremehkan situasi itu," kata Dao. "Dia bisa saja pergi dan lari ke luar negeri lalu hidup bahagia."
Selama di Sirte, sang tiran dan rombongannya berganti tempat persembunyian setiap empat hari, saat kota itu digempur serangan udara NATO. Para petempur loyalis di kota itu dipimpin Mutassim, yang semula memimpin sekitar 350 orang. Namun, banyak dari mereka kemudian melarikan diri dan menjelang akhir pertempuran, kekuatannya telah berkurang menjadi hanya sekitar 150 orang.
Dao mengatakan, Khadafy melarikan diri dari kompleks perumahannya di Tripoli sekitar tanggal 18 atau 19 Agustus, sebelum pasukan revolusioner menyapu ke kota itu. Setelah ibu kota itu jatuh, Dao mengatakan, Khadafy langsung menuju Sirte, ditemani Muatassim.
Putranya, yang sebelum itu digadang-gadang sebagai calon pewarisnya, yaitu Saif al-Islam, mencari perlindungan di Bani Walid, kubu loyalis yang lain. Demikian menurut Dao. Mansour Dao sendiri bergabung dengan Khadafy di Sirte seminggu kemudian, sementara mantan kepala intelijen Libya, Abdullah al-Senoussi, bergerak di antara Sirte dan Sabha, benteng ketiga pasukan pro-Khadafy saat itu. Al-Senoussi dan Saif al-Islam, yang kini dicari Pengadilan Kejahatan Internasional atas tuduhan kejahatan perang, masih buron.
Para pembantu Khadafy berulang kali mendesak mantan pemimpin negara kaya minyak itu untuk mundur dan meninggalkan Libya, tetapi dia menolak. Menurut Dao, Khadafy mengatakan, dia ingin mati di tanah leluhurnya.
Dao melukiskan kondisi terakhir Khadafy dengan, "Dia tertekan, dia benar-benar marah, dia kadang-kadang 'gila'. Sering kali, ia hanya sedih dan marah. Dia percaya rakyat Libya masih mencintainya, bahkan setelah kami mengatakan bahwa Tripoli telah diduduki." ( kompas.com )
Menurut Dao, mantan pemimpin Libya itu, putranya Mutassim dan serombongan berjumlah 24 loyalis penting yang siap mati nyaris tak punya hubungan dengan dunia luar ketika dalam pelarian itu. Mereka menempati rumah-rumah yang ditinggalkan warga, tanpa televisi, telepon, atau pun listrik.
Dao, seorang anggota klan Khadafy, mengatakan, sang tiran menghabiskan waktunya dengan membaca, membuat catatan, atau menyeduh teh di atas kompor batu bara. Ia membiarkan putra-putranya memikirkan rencana pertempuran. Dao yang berbicara dari sel penjaranya di Misrata mengatakan, "Dia (Khadafy) tidak memimpin pertempuran. Putra-putranya yang melakukan itu. Dia tidak merencanakan apa-apa atau berpikir mengenai suatu rencana."
Salah satu mobil dalam konvoi mantan pemimpin Libya, Moammar Khadafy, yang bertuliskan Brigade Katiba Pejuang Suci Al Rsifa dari Al Maqasba dipajang di salah satu sudut kota Misrata, Libya, Selasa (25/10).
Dao mengungkapkan, pada hari penangkapan Khadafy, sebuah konvoi yang membawa para loyalis, termasuk mantan pemimpin Libya itu dan Dao sendiri yang naik sebuah Toyota Landcruiser, telah melesat keluar dari Sirte untuk melarikan diri, tetapi kemudian terkena serangan udara NATO. Khadafy dan Dao terluka, kemudian ditangkap. Khadafy kemudian tewas pada hari itu.
Pemerintah sementara Libya telah setuju, atas tekanan internasional, untuk membuka penyelidikan atas kematian Khadafy. Para pejabat mengklaim, Khadafy tewas dalam baku tembak antara tentara pejuang revolusioner dan para loyalis. Namun, rekaman video yang muncul menunjukkan, Khadafy dipukuli, diejek, dan disiksa oleh para penangkapnya.
Peter Bouckaert dari Human Rights Watch (HRW) mengatakan, ada indikasi kuat Khadafy dan Muatassim tewas dalam tahanan. Dia mengatakan, seorang perempuan Libya yang ada dalam konvoi itu mengatakan kepada kelompok hak asasi manusia itu bahwa Khadafy hanya sedikit terluka akibat serangan NATO tersebut.
Sementara itu, Dao mengatakan, ia jatuh tak sadarkan diri akibat luka-lukanya sebelum penangkapan Khadafy dan tidak tahu apa yang terjadi padanya. "Saya merasa kasihan padanya karena dia meremehkan situasi itu," kata Dao. "Dia bisa saja pergi dan lari ke luar negeri lalu hidup bahagia."
Selama di Sirte, sang tiran dan rombongannya berganti tempat persembunyian setiap empat hari, saat kota itu digempur serangan udara NATO. Para petempur loyalis di kota itu dipimpin Mutassim, yang semula memimpin sekitar 350 orang. Namun, banyak dari mereka kemudian melarikan diri dan menjelang akhir pertempuran, kekuatannya telah berkurang menjadi hanya sekitar 150 orang.
Dao mengatakan, Khadafy melarikan diri dari kompleks perumahannya di Tripoli sekitar tanggal 18 atau 19 Agustus, sebelum pasukan revolusioner menyapu ke kota itu. Setelah ibu kota itu jatuh, Dao mengatakan, Khadafy langsung menuju Sirte, ditemani Muatassim.
Putranya, yang sebelum itu digadang-gadang sebagai calon pewarisnya, yaitu Saif al-Islam, mencari perlindungan di Bani Walid, kubu loyalis yang lain. Demikian menurut Dao. Mansour Dao sendiri bergabung dengan Khadafy di Sirte seminggu kemudian, sementara mantan kepala intelijen Libya, Abdullah al-Senoussi, bergerak di antara Sirte dan Sabha, benteng ketiga pasukan pro-Khadafy saat itu. Al-Senoussi dan Saif al-Islam, yang kini dicari Pengadilan Kejahatan Internasional atas tuduhan kejahatan perang, masih buron.
Para pembantu Khadafy berulang kali mendesak mantan pemimpin negara kaya minyak itu untuk mundur dan meninggalkan Libya, tetapi dia menolak. Menurut Dao, Khadafy mengatakan, dia ingin mati di tanah leluhurnya.
Dao melukiskan kondisi terakhir Khadafy dengan, "Dia tertekan, dia benar-benar marah, dia kadang-kadang 'gila'. Sering kali, ia hanya sedih dan marah. Dia percaya rakyat Libya masih mencintainya, bahkan setelah kami mengatakan bahwa Tripoli telah diduduki." ( kompas.com )
No comments:
Post a Comment