Korupsi Aja Dulu, Ntar Grasi Kemudian - Ruang perawatan kelas VVIP Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, tiba-tiba hibuk. Sejak pagi para petugas rapi berbenah. Jumat dua pekan lalu, di ruang perawatan mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais, mereka menunggu kedatangan staf khusus presiden, Denny Indrayana, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar.

Denny datang lebih dulu dan langsung masuk ke kamar Syaukani. Patrialis datang setengah jam kemudian. Dokter Yusuf Misbach dan sejumlah anggota keluarga Syaukani menemui mereka. "Presiden mengutus Denny untuk melihat langsung kondisi Syaukani," kata Patrialis kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Dirawat sejak 8 Mei 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Syaukani menghuni kamar 105, yang bertarif Rp 1,4 juta semalam. Ketika ditemui kedua pejabat, mata Syaukani terlihat kosong. Sesekali ia terpejam, mulutnya terbuka lebar. Juru kamera televisi dan juru foto dibiarkan mengambil gambar "momen dramatis" itu.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-65, Syaukani mendapat hadiah istimewa: pengampunan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, ia dihukum enam tahun penjara pada 2008. Tapi, dengan grasi dari Kepala Negara, ia langsung bebas.
Pengampunan itu diprotes para aktivis antikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi pun mempersoalkannya. "Untuk apa kami bekerja keras kalau kemudian diampuni?" kata M. Jasin, wakil ketua komisi itu. Walhasil, kunjungan Patrialis dan Denny ke rumah sakit dilakukan untuk meredam kontroversi soal ini. Berbeda dengan Patrialis, Denny mengatakan datang membesuk Syaukani atas inisiatif pribadi. "Presiden menyambut baik dan meminta saya berkoordinasi dengan Menteri Hukum," katanya.
Ditetapkan menjadi tersangka empat kasus korupsi, Syaukani ditahan sejak Maret 2007. Dalam persidangan, politikus Partai Golkar itu didakwa menyalahgunakan wewenang pada penggunaan dana perangsang pungutan sumber daya alam, bantuan sosial, dana studi kelayakan pembangunan bandara, serta penerimaan uang panjar pembebasan lahan untuk bandara.
Surat keputusan yang dibuatnya untuk menggunakan 1,5 persen dana perimbangan minyak dan gas sebagai dana perangsang dinilai melanggar hukum. Sebab, dana yang terkumpul itu kemudian dibagi-bagi kepada sejumlah pejabat daerah setempat. Sepanjang 2001-2005, Syaukani memperoleh Rp 27,83 miliar dan para pejabat lain mendapatkan Rp 65,36 miliar.
Syaukani juga bersalah dalam pengucuran dana Rp 7,18 miliar untuk studi kelayakan pembangunan bandara yang dilakukan PT Mahakam Diastar Internasional. Soal dana bantuan sosial, hakim menilai Syaukani tidak dapat mempertanggungjawabkan dana Rp 6,27 miliar. Pada Desember 2007, ia dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara. Hukuman diperberat Mahkamah Agung, yang menjatuhkan vonis enam tahun penjara plus denda Rp 49,36 miliar pada September tahun lalu.
Pria 62 tahun yang sering dipanggil Pak Kaning itu seharusnya menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Tapi ia tak sepenuhnya menghuni sel penjara. Ia justru banyak menempati kamar rumah sakit. Pada masa persidangan, ia berkali-kali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Itu sebabnya, alasan kesehatan pula yang dipakai pengacara buat mengajukan grasi ke Presiden, 23 November lalu.
Menurut sejumlah pejabat Istana, permohonan grasi itu awalnya ditolak Presiden. Patrialis pun berusaha meyakinkan Kepala Negara dalam suatu pertemuan. Walhasil, surat pengampunan diterbitkan Presiden pada 15 Agustus lalu. Dimintai konfirmasi soal ini, Patrialis mengatakan, Presiden tak pernah secara formal menolak permohonan grasi Syaukani.
Menurut istrinya, Dayang Kartini, Syaukani berencana pulang ke Tenggarong, Kalimantan Timur, untuk merayakan hari Lebaran. Ia berencana tinggal di pendapa Kabupaten Kutai Kartanegara, tempatnya dulu ketika menjadi bupati. Kini, rumah dinas itu dihuni anaknya, Rita Widyasari, yang terpilih menjadi bupati pada April lalu.
Walau disebutkan sakit permanen, pada 22 April lalu Syaukani sempat terbang ke Tenggarong dengan menumpang pesawat carteran. Di sana dia sempat menghadiri kampanye Rita. Menurut seseorang yang hadir, Syaukani sempat naik panggung dan berpidato meski dengan napas tersengal.
Rudy Alfonso, kuasa hukum Syaukani, membenarkan kepergian kliennya ke Tenggarong. Tapi, ia menambahkan, perjalanan itu dilakukan atas instruksi dokter agar Syaukani menjalin terapi pengembalian daya ingat. "Tidak untuk kampanye," katanya.
Menteri Patrialis mengaku, izin yang diberikan ke Syaukani saat itu untuk kepentingan berobat. "Baru belakangan saya dapat informasi bahwa dia hadir di kampanye anaknya." ( tempointeraktif.com )
Denny datang lebih dulu dan langsung masuk ke kamar Syaukani. Patrialis datang setengah jam kemudian. Dokter Yusuf Misbach dan sejumlah anggota keluarga Syaukani menemui mereka. "Presiden mengutus Denny untuk melihat langsung kondisi Syaukani," kata Patrialis kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Dirawat sejak 8 Mei 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Syaukani menghuni kamar 105, yang bertarif Rp 1,4 juta semalam. Ketika ditemui kedua pejabat, mata Syaukani terlihat kosong. Sesekali ia terpejam, mulutnya terbuka lebar. Juru kamera televisi dan juru foto dibiarkan mengambil gambar "momen dramatis" itu.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-65, Syaukani mendapat hadiah istimewa: pengampunan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, ia dihukum enam tahun penjara pada 2008. Tapi, dengan grasi dari Kepala Negara, ia langsung bebas.
Pengampunan itu diprotes para aktivis antikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi pun mempersoalkannya. "Untuk apa kami bekerja keras kalau kemudian diampuni?" kata M. Jasin, wakil ketua komisi itu. Walhasil, kunjungan Patrialis dan Denny ke rumah sakit dilakukan untuk meredam kontroversi soal ini. Berbeda dengan Patrialis, Denny mengatakan datang membesuk Syaukani atas inisiatif pribadi. "Presiden menyambut baik dan meminta saya berkoordinasi dengan Menteri Hukum," katanya.
Ditetapkan menjadi tersangka empat kasus korupsi, Syaukani ditahan sejak Maret 2007. Dalam persidangan, politikus Partai Golkar itu didakwa menyalahgunakan wewenang pada penggunaan dana perangsang pungutan sumber daya alam, bantuan sosial, dana studi kelayakan pembangunan bandara, serta penerimaan uang panjar pembebasan lahan untuk bandara.
Surat keputusan yang dibuatnya untuk menggunakan 1,5 persen dana perimbangan minyak dan gas sebagai dana perangsang dinilai melanggar hukum. Sebab, dana yang terkumpul itu kemudian dibagi-bagi kepada sejumlah pejabat daerah setempat. Sepanjang 2001-2005, Syaukani memperoleh Rp 27,83 miliar dan para pejabat lain mendapatkan Rp 65,36 miliar.
Syaukani juga bersalah dalam pengucuran dana Rp 7,18 miliar untuk studi kelayakan pembangunan bandara yang dilakukan PT Mahakam Diastar Internasional. Soal dana bantuan sosial, hakim menilai Syaukani tidak dapat mempertanggungjawabkan dana Rp 6,27 miliar. Pada Desember 2007, ia dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara. Hukuman diperberat Mahkamah Agung, yang menjatuhkan vonis enam tahun penjara plus denda Rp 49,36 miliar pada September tahun lalu.
Pria 62 tahun yang sering dipanggil Pak Kaning itu seharusnya menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Tapi ia tak sepenuhnya menghuni sel penjara. Ia justru banyak menempati kamar rumah sakit. Pada masa persidangan, ia berkali-kali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Itu sebabnya, alasan kesehatan pula yang dipakai pengacara buat mengajukan grasi ke Presiden, 23 November lalu.
Menurut sejumlah pejabat Istana, permohonan grasi itu awalnya ditolak Presiden. Patrialis pun berusaha meyakinkan Kepala Negara dalam suatu pertemuan. Walhasil, surat pengampunan diterbitkan Presiden pada 15 Agustus lalu. Dimintai konfirmasi soal ini, Patrialis mengatakan, Presiden tak pernah secara formal menolak permohonan grasi Syaukani.
Menurut istrinya, Dayang Kartini, Syaukani berencana pulang ke Tenggarong, Kalimantan Timur, untuk merayakan hari Lebaran. Ia berencana tinggal di pendapa Kabupaten Kutai Kartanegara, tempatnya dulu ketika menjadi bupati. Kini, rumah dinas itu dihuni anaknya, Rita Widyasari, yang terpilih menjadi bupati pada April lalu.
Walau disebutkan sakit permanen, pada 22 April lalu Syaukani sempat terbang ke Tenggarong dengan menumpang pesawat carteran. Di sana dia sempat menghadiri kampanye Rita. Menurut seseorang yang hadir, Syaukani sempat naik panggung dan berpidato meski dengan napas tersengal.
Rudy Alfonso, kuasa hukum Syaukani, membenarkan kepergian kliennya ke Tenggarong. Tapi, ia menambahkan, perjalanan itu dilakukan atas instruksi dokter agar Syaukani menjalin terapi pengembalian daya ingat. "Tidak untuk kampanye," katanya.
Menteri Patrialis mengaku, izin yang diberikan ke Syaukani saat itu untuk kepentingan berobat. "Baru belakangan saya dapat informasi bahwa dia hadir di kampanye anaknya." ( tempointeraktif.com )
No comments:
Post a Comment