Banjir, Banjir Lagi, Banjir Datang Lagi - Jangan pernah bermimpi Jakarta menjadi Kota Metropolitan bertaraf Internasional. Jangan berkhayal pula Jakarta bisa dijelma menjadi kota seperti Paris, Roma, atau bahkan Taj Mahal. Wilayah yang dahulu bernama Sunda Kelapa ini tetap kumuh, macet, bising, dan sudah pasti banjir.
Banjir tampaknya sudah menjadi karib bagi kota yang dinobatkan sebagai daerah khusus ini. Setiap kali musim hujan tiba, air selalu menggenangi pemukiman warga. Pemerintah pusat dan daerah pun hanya saling tuding soal penyebab banjir.
Awal November 2011 ini, Jakarta dan sebagian besar kota di Indonesia sudah mulai diguyur hujan. Bedanya, beberapa daerah sudah siap mengantisipasi luapan air akibat tingginya volume hujan. Berbeda dengan Jakarta. Para tokoh yang seharusnya bertanggungjawab atas bencana banjir kurang sigap dalam mengantisipasi.
Buktinya terjadi di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ratusan rumah di beberapa rukun tetangga (RT) tergenang air. Dalihnya para penguasa di negeri ini adalah penyempitan aliran Kali Krukut akibat ulah manusia. Klaim yang sebenarnya pantas diucapkan anak sekolah dasar (SD).
Sejak awal seharusnya para perangkat desa setempat sudah tahu dampak yang timbul akibat penyempitan kali. Idealnya mereka bertindak tegas mencegah terjadinya penyempitan aliran kali. Tidak perlu takut bertindak karena dilindungi undang-undang. Ujung-ujungnya bisa ditebak yakni saling tuding dan menyalahkan terkait terjadinya banjir.
Penyempitan kali Krukut akibat ulah manusia bukan satu-satunya penyebab utama banjir. Dalam beberapa hari ini, warga DKI Jakarta dihadapkan kemacetan yang sangat parah. Semua akses jalan menuju Jalan Jenderal Sudirman macet total. Penyebabnya satu, pembangunan gorong-gorong air di sepanjang jalan tersebut.
Secara tujuan, tentu memberikan faedah kepada masyarakat terutama saat musim penghujan tiba. Pembangunan gorong-gorong sudah pasti dimaksudkan untuk memperbaiki sistem drainase yang buruk di jalan tersebut. Tapi mengapa pembangunan gorong-gorong tersebut dilakukan saat musim penghujan tiba.
Mengapa pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki perhitungan matang? Kenapa tidak dibangun saat cuaca Jakarta masih kemarau? Kini duka penduduk Jakarta bertambah berat. Bahkan kecelakaan akan menghantui pengendara kala melintasi Jalan Jenderal Sudirman.
Kecelakaan sangat mungkin terjadi mengingat akibat pembangunan gorong-gorong tersebut, jalan menjadi licin. Serpihan tanah yang tercecer di jalan akan menjadi licin basah. Siapa kesatria yang berani bertanggungjawab?
Belum lagi bahaya yang mungkin saja terjadi pada delegasi 10 negara Asia Tenggara yang akan tampil pada SEA Games, 11-22 November 2011. Jalan Jenderal Sudirman menjadi lalu lalang atlet, pelatih dan ofisial pertandingan. Bagaimana kalau para duta olahraga negara lain mengalami kecelakaan akibat pembangunan gorong-gorong yang tidak memakai perhitungan ini?
Pemprov DKI Jakarta dan berbagai elemen penunjang lainnya hendaknya berkaca pada tragedi banjir 2007. Tercatat 80 orang di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten meregang nyawa. Siklus banjir besar lima tahunan bukan tidak mungkin terulang. Tahun depan atau 2012 kemungkinan banjir besar kembali menyapa Jakarta dan sekitarnya.
Kerusakan terparah terjadi di Jakarta Barat. Jalan rusak mencapai 22.650 m², disusul Jakarta Utara (22.520 m²), Jakarta Pusat (16.670 m²), dan Jakarta Selatan (11.090 m²). Kerusakan jalan paling ringan dialami Jakarta Timur yakni seluas 9.220 m². Untuk merehabilitasi jalan sedikitnya dibutuhkan Rp12 miliar.
Dari data dan informasi, nilai kerusakan dan kerugian terhadap aset yang terkena banjir, baik aset milik pemerintah, aset dunia usaha dan aset masyarakat diperkirakan Rp5,16 triliun.
Sungguh angka fantastis hanya karena keteledoran, kelalaian dan ketidak cerdasan sebagian umat manusia di Ibu Kota Republik Indonesia ini. ( okezone.com )
Banjir tampaknya sudah menjadi karib bagi kota yang dinobatkan sebagai daerah khusus ini. Setiap kali musim hujan tiba, air selalu menggenangi pemukiman warga. Pemerintah pusat dan daerah pun hanya saling tuding soal penyebab banjir.
Awal November 2011 ini, Jakarta dan sebagian besar kota di Indonesia sudah mulai diguyur hujan. Bedanya, beberapa daerah sudah siap mengantisipasi luapan air akibat tingginya volume hujan. Berbeda dengan Jakarta. Para tokoh yang seharusnya bertanggungjawab atas bencana banjir kurang sigap dalam mengantisipasi.
Buktinya terjadi di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ratusan rumah di beberapa rukun tetangga (RT) tergenang air. Dalihnya para penguasa di negeri ini adalah penyempitan aliran Kali Krukut akibat ulah manusia. Klaim yang sebenarnya pantas diucapkan anak sekolah dasar (SD).
Sejak awal seharusnya para perangkat desa setempat sudah tahu dampak yang timbul akibat penyempitan kali. Idealnya mereka bertindak tegas mencegah terjadinya penyempitan aliran kali. Tidak perlu takut bertindak karena dilindungi undang-undang. Ujung-ujungnya bisa ditebak yakni saling tuding dan menyalahkan terkait terjadinya banjir.
Penyempitan kali Krukut akibat ulah manusia bukan satu-satunya penyebab utama banjir. Dalam beberapa hari ini, warga DKI Jakarta dihadapkan kemacetan yang sangat parah. Semua akses jalan menuju Jalan Jenderal Sudirman macet total. Penyebabnya satu, pembangunan gorong-gorong air di sepanjang jalan tersebut.
Secara tujuan, tentu memberikan faedah kepada masyarakat terutama saat musim penghujan tiba. Pembangunan gorong-gorong sudah pasti dimaksudkan untuk memperbaiki sistem drainase yang buruk di jalan tersebut. Tapi mengapa pembangunan gorong-gorong tersebut dilakukan saat musim penghujan tiba.
Mengapa pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki perhitungan matang? Kenapa tidak dibangun saat cuaca Jakarta masih kemarau? Kini duka penduduk Jakarta bertambah berat. Bahkan kecelakaan akan menghantui pengendara kala melintasi Jalan Jenderal Sudirman.
Kecelakaan sangat mungkin terjadi mengingat akibat pembangunan gorong-gorong tersebut, jalan menjadi licin. Serpihan tanah yang tercecer di jalan akan menjadi licin basah. Siapa kesatria yang berani bertanggungjawab?
Belum lagi bahaya yang mungkin saja terjadi pada delegasi 10 negara Asia Tenggara yang akan tampil pada SEA Games, 11-22 November 2011. Jalan Jenderal Sudirman menjadi lalu lalang atlet, pelatih dan ofisial pertandingan. Bagaimana kalau para duta olahraga negara lain mengalami kecelakaan akibat pembangunan gorong-gorong yang tidak memakai perhitungan ini?
Pemprov DKI Jakarta dan berbagai elemen penunjang lainnya hendaknya berkaca pada tragedi banjir 2007. Tercatat 80 orang di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten meregang nyawa. Siklus banjir besar lima tahunan bukan tidak mungkin terulang. Tahun depan atau 2012 kemungkinan banjir besar kembali menyapa Jakarta dan sekitarnya.
Kerusakan terparah terjadi di Jakarta Barat. Jalan rusak mencapai 22.650 m², disusul Jakarta Utara (22.520 m²), Jakarta Pusat (16.670 m²), dan Jakarta Selatan (11.090 m²). Kerusakan jalan paling ringan dialami Jakarta Timur yakni seluas 9.220 m². Untuk merehabilitasi jalan sedikitnya dibutuhkan Rp12 miliar.
Dari data dan informasi, nilai kerusakan dan kerugian terhadap aset yang terkena banjir, baik aset milik pemerintah, aset dunia usaha dan aset masyarakat diperkirakan Rp5,16 triliun.
Sungguh angka fantastis hanya karena keteledoran, kelalaian dan ketidak cerdasan sebagian umat manusia di Ibu Kota Republik Indonesia ini. ( okezone.com )
No comments:
Post a Comment