Dengarkanlah Suara Dari Papua

Dengarkanlah Suara Dari Papua - “Kitorang (kami) butuh guru dan tenaga kesehatan, kitorang tara (kami tidak) butuh tentara dan polisi. Daerah ini aman-aman saja. Kalau bapa-ibu guru silakan masuk, tentara atau polisi tidak boleh masuk!”

Kalimat itu dilontarkan sekelompok orang yang melakukan pencegatan terhadap rombongan para guru yang baru saja direkrut oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Puncak Jaya, untuk ditempatkan di sekolah-sekolah di pedalaman Puncak Jaya. Jika kita telaah kalimat di atas, tampak jelas, bagi rakyat Papua yang kritis atau tidak percaya kepada pemerintah pusat, mereka merasa kehidupannya tak perlu diganggu oleh kehadiran aparat keamanan.

Rakyat Papua di mana pun berada, butuh pelayanan kesehatan yang baik dari pemerintah dan juga tersedianya guru-guru yang benar-benar berdedikasi untuk kemajuan anak-anak Papua. Kita melihat bagaimana semakin hari semakin sedikit guru- guru dari Tanah Toraja,Kei, Minahasa, atau tanah Jawa yang mau bertugas di daerahdaerah terpencil di tanah Papua. Ini karena nasib mereka sangat tidak diperhatikan oleh pemerintah.Ini karena insentif untuk mengajar di daerahdaerah yang sunyi dari keramaian itu memang amatlah kecil.

Tidaklah mengherankan jika pemerintah daerah di Papua berupaya keras memberi insentif yang memadai antara Rp5 juta sampai Rp15 juta per bulan,agar mereka mau mengajar di daerah terpencil. Dilihat dari masalah keamanan, dalam sejarah Papua, sangat kecil kejadian di mana ada guru atau tenaga kesehatan yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang Papua,bahkan dari anggota OPM sekalipun.

Bila kita teliti lebih lanjut, persoalan Papua dari sisi sosial, ekonomi,dan budaya,memang bertumpu pada tiga hal pokok: pendidikan, kesehatan, dan sektor ekonomi rakyat. Dari tiga hal itu saja tampak jelas betapa Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat adalah yang terendah di Indonesia, yaitu menduduki nomor buncit 32 untuk Papua dan nomor 33 untuk Papua Barat. Semakin hari semakin tertinggal mutu pendidikan anakanak Papua di pedalaman.

Semakin hari semakin banyak pula tenaga kesehatan yang meninggalkan puskesmas di pedalaman. Kalaupun ada tenaga kesehatan, obat-obatan pun sulit didapat.Dari segi ekonomi rakyat, bila kita memasuki pasar-pasar tradisional di Papua dan Papua Barat, amat sulit menemukan adanya “Mama- mama Papua” yang berdagang di pasar.Mereka telah tersingkir ke pelataran pasar, toko, atau di trotoar jalan.

Apa yang dilakukan Pemerintah Kota Jayapura yang memberi tempat khusus sementara di seberang Hotel Yasmin, Jayapura, bagi “Mama-Mama Papua” untuk berdagang pada malam hari,adalah contoh baik untuk membantu perekonomian rakyat kecil Papua. Kurangnya perhatian pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian rakyat menyebabkan rasa frustrasi yang berkepanjangan pada sebagian besar rakyat Papua.

Jawaban atas frustrasi itu bukanlah menembaki mereka yang berdemonstrasi atau mengadakan Kongres Rakyat Papua, melainkan bagaimana kondisi-kondisi sosial-ekonomi itu semakin diperhatikan. “Mari kita membangun Papua dengan hati,”dan “Tak ada Operasi Militer di Papua.”Dua penggalan kata itu diucapkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyonodalammenyikapi perkembangan politik di tanah Papua akhir-akhir ini.

Kita hanya berharap agar apa yang diucapkan oleh Presiden itu benar adanya dan akan dilaksanakan oleh aparat pemerintah pusat dan daerah, serta aparat keamanan di daerah. Apa yang terjadi di sekitar Lapangan Bola Zakheus,Abepura pada 19 Oktober 2011, adalah suatu yang menyayat hati kita sebagai sesama anak bangsa Indonesia.


http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRR-jEhpER2vVYJ3zWaqeu5a6Eeeo7khdBD5PiFNuFiaBicY4SXlQ


Betapa tidak. Jika berupaya memahami dengan hati yang bersih, apa yang disuarakan oleh Kongres Rakyat Papua III yang berlangsung tiga hari, 17–19 Oktober 2001, itu sebenarnya bukanlah suara kemerdekaan, melainkan mereka ingin agar suara hati orang-orang Papua didengar pemerintah pusat.

Dari informasi yang penulis dapatkan, panitia sudah berupaya untuk mendapatkan gedung yang layak bagi pertemuan itu,yaitu meminjam gedung gelanggang olahraga (GOR) di Jayapura dan gedung konvensi milik Universitas Cenderawasih di Abepura. Akan tetapi,mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan aset-aset negara bagi Kongres mereka.

Karena itu,mereka menggunakan lapangan bola yang dimiliki oleh Sekolah Katolik di Abepura yang terletak hanya 1 kilometer dari Markas Zeni Tempur Angkatan Darat di Waena,dan hanya 200 meter dari Markas Korem 172 Abepura. Para aparat keamanan, polisi dan TNI,tentunya sudah mengetahui apa yang akan disimpulkan oleh Kongres Rakyat Papua itu.Karena itu,mengapa mereka tidak berupaya untuk mendekati panitia secara baikbaik dan malah melakukan penyerangan ketika suara kemerdekaan mereka dengungkan.

Pertanyaannya kemudian ialah, mengapa anak-anak Papua yang juga anak-anak Indonesia itu diperlakukan secara tidak wajar ketika mereka menghindari aparat keamanan dan melarikan diri ke daerah perbukitan di sekitar itu? Kata “Merdeka” sebenarnya bukanlah harga mati. Mereka hanya ingin agar pemerintah pusat mendengarkan suara hati mereka yang merasa tidak ada perubahan mendasar pada nasib anak-anak Papua, setelah 10 tahun Otonomi Khusus diberlakukan di Papua dan 6 tahun di Papua Barat.

Apa yang mereka lontarkan di Abepura melalui “Seminar Damai di Tanah Papua 5–7 Juli 2011” dan “Kongres Rakyat Papua III pada 17–19 Oktober 2011”, adalah political gathering atau kumpul-kumpul politik untuk mempersiapkan dialog yang lebih manusiawi antara pemerintah pusat di Jakarta dan rakyat Papua. Mereka ingin agar pemerintah dan rakyat Papua duduk bersama membicarakan masa depan Papua.

Jika bukan kemerdekaan yang mereka dapatkan,apa yang dapat diberikan oleh pemerintah pusat kepada rakyat Papua? Mereka tahu pasti bahwa otsus yang berjalan selama 10 tahun ini telah gagal memperbaiki kondisi pendidikan,kesehatan, dan perekonomian rakyat di Papua.Mereka tahu ada yang tidak beres yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi di Papua dan Papua Barat serta kabupaten-kabupaten di Papua. Mereka juga telah sering mengadu kepada pemerintah pusat, tapi hingga detik ini pemerintah pusat tidak pernah melakukan evaluasi mendasar atas pelaksanaan otsus di Papua dan Papua Barat.

Harapan Kepada P4B

Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) bukanlah hal yang baru,karena sudah dilontarkan oleh Presidenpadaempattahunyanglalu. Adanya Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yang dipimpin oleh Letjen (Purn) Bambang Dharmono adalah suatu yang baru. Ada beberapa “Titipan Pesan” teman-teman di Papua kepada penulis agar disampaikan kepada Mas Bambang Dharmono.

Pertama,Unit ini harus mulai mengevaluasi apa saja yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama 10 tahun melalui dana otsus yang jumlahnya sudah mencapai hampir Rp30 triliun.Apakah dana otsus tersebut sudah benar-benar digunakan untuk pembangunan empat bidang, yaitu pendidikan, kesehatan, perekonomian rakyat kecil, dan infrastruktur jalan/jembatan.Jika sudah,bagaimana pemerintah daerah membagi uang yang dua pertiga untuk Papua dan sepertiga untuk Papua Barat.

Bagaimana juga uang yang diberikan kepada setiap kabupaten yang jumlahnya antara Rp53 miliar sampai Rp60 miliar, penggunaannya untuk apa. Jika benar ada uang dana otsus yang digunakan untuk membayar utang atau untuk berfoya-foya para kepala daerah,pemerintah pusat tidak perlu takut untuk membawa para pelaku korupsi itu ke pengadilan tipikor.

Kedua, bagaimana pula penerapan Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) di kampung-kampung Papua dan Papua Barat yang jumlahnya Rp100 juta per kampung per tahun dari pemerintah provinsi, serta ada juga dana tambahan antara Rp100 juta sampai Rp200 juta per tahun dari pemerintah kabupaten, bergantung kemampuan kabupatennya. Apakah dana PNPM Mandiri yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk para instruktur pendamping sudah juga digunakan secara tepat guna.

Ketiga, membangun Papua harus sesuai dengan kebutuhan orang Papua.Karena itu, jangan sampai Unit ini hanya berkantor di Jakarta, para pejabatnya dari pimpinan, deputi, dan stafnya hanya duduk di Jakarta dan semua petugasnya adalah orang Jakarta. Orangorang cerdas dan perancang Papua juga harus diikutsertakan agar orang Papua merasa pembangunan sesuai dengan kepentingan mereka bersama, dan bukan kepentingan Jakarta semata.

Berkaca dari Aceh yang kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) berkantor di Banda Aceh, Unit ini juga harus memiliki kantor di Jayapura dan atau Manokwari. Keempat, Mas Bambang Dharmono juga harus mengusulkan kepada pemerintah pusat agar membedakan mana yang diurus oleh pemerintah pusat dan mana yang diurus oleh pemerintah daerah, agar ada kejelasan mana dana APBD yang digunakan pemerintah daerah dan mana anggaran khusus otsus untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat yang digunakan unit P4B.

Ini untuk menghindari ketersinggungan pemerintah daerah yang seakan diintervensi oleh pusat dan agar penggunaan dana tepat guna. Tanpa memperhatikan butir- butir tersebut, seberapa banyak pun dana otsus digelontorkan ke daerah, tak akan ada manfaatnya bagi rakyat Papua. Kita berharap kali ini pemerintah pusat sungguh-sungguh ingin membangun Papua dan PapuaBaratdenganhati,danbukan mengharubirukan perasaan rakyat Papua yang merasa dimarjinalisasikan oleh pusat. ( seputar-indonesia.com )



Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!



No comments:

Post a Comment