Mungkinkah Pelaku Bom Buku Adalah Hantu Teroris Binaan Nasir Abas - Spekulasi Nasir Abas mengenai pengirim paket bom buku, yang dialamatkan kepada dedengkot Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, Ketua BNN Komjen Pol Gorries Mere, dan Ketua Umum Pemuda Pancasila Japto S Soerjosoemarno, Selasa 15 Maret 2011; niscaya membuat banyak orang terkecoh. Sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI), organisasi teroris versi PBB itu, komentar-komentarnya mengenai jaringan teroris serta tindakan pemboman yang bertubi-tubi menimpa Indonesia, dinilai relevan dengan kondisi politik global yang cenderung menyudutkan Islam.
Dalam tulisan berjudul Bom Buku, Terorisme? yang dimuat Harian Republika, Senin 21 Maret 2011, tudingan Nasir Abas terkesan meyakinkan, bahwa bom buku itu bermotif agama yang dilakukan para teroris JI.
Pelaku Bom Buku Adalah Hantu Teroris Binaan Nasir Abas
Nasir Abas menulis: “Ulil Abshar Abdalla adalah pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Pemikirannya dinilai bertentangan dengan Islam, merusak citra Islam, menimbulkan pertentangan diantara aktivis Muslim lainnya, bahkan pernah ada fatwa untuk membunuh Ulil. Sedang Komjen Gorries Mere pernah menjabat Kepala Satgas Bom Polri yang menangkap para pelaku bom di Indonesia. Kebencian pelaku dan pendukung pelaku terorisme sampai-sampai menjadikannya buronan, seperti yang pernah ada di salah satu spanduk ‘Buronan Mujahidin’ di salah satu sidang pengadilan terorisme. Adapun Japto S Soerjosoemarno, Ketua Umum Pemuda Pancasila. Umumnya para aktivis Jihadiy anti Pancasila, ada yang menganggap Pancasila adalah sistem kafir yang tidak boleh ditaati.
Dari keyakinan para pelaku terhadap latar belakang sasaran bom buku, barangkali mereka meyakini bahwa tiga sasaran ini harus dihentikan dan diapa-apakan. Karena mereka bertiga adalah pemimpin atau tokoh penting dalam urusan anti teror, paham liberal, dan penerapan Pancasila. Barangkali ketiga-tiganya dianggap sebagai pemimpin musuh Islam dan musuh umat Islam yang harus dihabisi duluan.”
Sebagai upaya melestarikan hantu teroris, pernyataan agitatif di atas, cukup logis. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Irjen (pol) Ansyaad Mbai, menguatkan spekulasi Abas dengan pernyataan berbalut kebencian. "Keinginan motifnya sudah jelas. Sepuluh tahun ini sudah terungkap di pengadilan, motif mereka ingin mendirikan negara Islam, memberlakukan syariat Islam, dan mengubah pancasila serta UUD 1945," kata Ansyaad Mbai dalam diskusi bertema "Bom Buku Terbitlah Isu" di Warung Daun, Jln. Cikini, Jakarta, Sabtu (19/3/2011).
Padahal, jika kita menggunakan teori dendam Nasir Abas, bahwa ketiga-tiga orang yang dikirimi bom buku, yaitu Ulil Abshar, Gorries Mere dan Japto, dianggap musuh Islam dan umat Islam yang harus dihabisi duluan. Maka, Nasir Abbas lah seharusnya orang yang dihabisi duluan. Sebab, Nasir Abbas pernah menjabat Ketua Mantiqi dalam struktur JI, kemudian berkhianat, dan membantu musuh perjuangan. Bukankah Nasir Abas lebih tepat dijadikan target bom?
Namun faktanya, kondisi Nasir Abas aman, sehingga wajar memunculkan kecurigaan. Disaat masyarakat Indonesia diresahkan berbagai pemboman, Nasir Abas justru bebas berkeliaran mengisi seminar, talk shaw di TV, omongannya jadi rujukan media massa, sambil mengutuk para tersangka teroris. Termasuk berceramah di Pesantren Al Muayyad Solo, 29 April 2010 lalu, membawa misi deradikalisasi teroris.
Sedemikian saktikah Nasir Abas, sehingga eksistensinya tak terancam, bahkan oleh teroris? Atau, jangan-jangan dia bukan sedang membongkar jaringan teroris, melainkan seseorang yang menjalankan peran ganda. Berpura-pura bertobat, yang dalam terminologi gerakan bawah tanah, sedang menjalankan taktik ‘sembunyi di tempat terang,’ dalam rangka menginteli intelijen.
Ketika masih menjadi bagian anggota jaringan terorisme, pria kelahiran Singapore 6 Mei 1969 ini, meyakini kebenaran tujuan, cara perjuangan serta pilihan organisasinya. Setelah bebas dari hukuman sepuluh bulan penjara, dengan tuduhan melanggar UU Keemigrasian, dia tidak saja mengkhianati organisasinya, merecoki teman-teman terorisnya. Tetapi juga, menjual informasi kepada aparat yang dulu dimusuhi, sembari menganggap benar tindakan munafik itu. Maka, bukan mustahil, pelaku bom buku adalah hantu teroris binaan Nasir Abas, dengan memperalat mereka yang berhasil dijinakkan atas nama deradikalisasi terorisme.
Bom Intel
Berbeda dengan Nasir Abas dan Ansyad Mbai, adalah pernyataan mantan Kepala BAKIN Suripto. Menurutnya, kemungkinan teroris mengirim paket bom buku itu sangat kecil, melainkan skenario intelijen. Sebab setelah beberapa tokoh terduga teroris ditangkap, tewas, serta Abu Bakar Ba'asyir yang diduga terlibat terorisme menghadapi pengadilan. Gerakan jaringan teroris di Indonesia tiarap.
Sebenarnya, kita sudah terlalu berpengalaman dengan upaya pihak tertentu mendiskreditkan gerakan Islam di Indonesia. Pada tahun 1961 terjadi kasus penembakan terhadap Presiden RI Bung Karno, saat berpidato di Cikini. Akibatnya, terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota gerakan Islam. Padahal, para pelakunya tetap misterius tidak terungkap hingga sekarang. Begitupun, pada Idul Fithri 1963, terjadi upaya pembunuhan terhadap Soekarno. Sebagai pelakunya, dituduh anggota Masyumi bawah tanah. Tetapi yang terungkap di pengadilan, pelakunya adalah anggota PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pada zaman rezim orde baru muncul berbagai kasus subversi, antara lain Komando Jihad dan pengeboman candi Borobudur, 1985. Dan yang ditangkap adalah Husein Al Habsyi, seorang pemuda yang tidak dapat melihat alias buta, dituduh sebagai dalang pengeboman. Akhirnya, Husein Al Habsyi mendekam di penjara selama 9 tahun 4 bulan, berdasarkan fakta fiktif dan data imajinatif. Bagaimana mungkin seorang buta dapat mengebom stupa candi Borobudur, untuk berjalan saja harus dituntun orang lain?
Kezaliman seperti ini terus dipelihara, seperti dinyatakan mantan Ketua Komisi Yudisial dan sekarang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqaddas dalam disertasi doktornya berjudul : “Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman.”
Busyro dengan tegas menyatakan, bahwa seluruh proses peradilan menunjukkan bahwa institusi peradilan berjalan di bawah kontrol politik dan kekuasaan pemerintah. Akibatnya, proses peradilan berjalan tidak independen dan tidak transparan. Rezim Orde Baru, lanjutnya telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim.
Sejak munculnya bom Bali pertama (2002) kemudian disusul berbagai pengeboman di berbagai tempat, tidak pernah diungkap siapa dalangnya, sekalipun wayangnya banyak yang dihukum mati atau dipenjara bertahun-tahun. Aparat intelijen sengaja menampilkan tokoh kharismatik seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dengan berbagai rekayasa yang sudah dipersiapkan. Lalu, menanamkan citra kepahlawanan pada yang bersangkutan sehingga tetap menjadi magnit, memiliki daya tarik untuk melakukan tindakan teror. Tujuannya, melestarikan stigma bahwa hantu teroris berasal dari komunitas Muslim, dan menutup kemungkinan adanya hantu teroris dari ideologi dan komunitas lain.
Belajar dari politik diskriminasi terhadap Islam yang dilakukan Soekarno dan Soeharto, agaknya tidak sulit menebak permainan politik yang sedang dimainkan rezim Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Selama pemerintah masih terperangkap dalam belenggu kepentingan politik global, yang mencurigai dan menolak supremasi Islam berperan optimal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ancaman kerusakan jauh lebih besar. Begitupun, selama masih ada orang yang tanpa disadari dapat diperalat sebagai teroris, maka propaganda intelijen akan terus berjalan walaupun rakyat sudah muak dengan segala rekayasa ini. ( arrahmah.com )
Dalam tulisan berjudul Bom Buku, Terorisme? yang dimuat Harian Republika, Senin 21 Maret 2011, tudingan Nasir Abas terkesan meyakinkan, bahwa bom buku itu bermotif agama yang dilakukan para teroris JI.
Pelaku Bom Buku Adalah Hantu Teroris Binaan Nasir Abas
Nasir Abas menulis: “Ulil Abshar Abdalla adalah pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Pemikirannya dinilai bertentangan dengan Islam, merusak citra Islam, menimbulkan pertentangan diantara aktivis Muslim lainnya, bahkan pernah ada fatwa untuk membunuh Ulil. Sedang Komjen Gorries Mere pernah menjabat Kepala Satgas Bom Polri yang menangkap para pelaku bom di Indonesia. Kebencian pelaku dan pendukung pelaku terorisme sampai-sampai menjadikannya buronan, seperti yang pernah ada di salah satu spanduk ‘Buronan Mujahidin’ di salah satu sidang pengadilan terorisme. Adapun Japto S Soerjosoemarno, Ketua Umum Pemuda Pancasila. Umumnya para aktivis Jihadiy anti Pancasila, ada yang menganggap Pancasila adalah sistem kafir yang tidak boleh ditaati.
Dari keyakinan para pelaku terhadap latar belakang sasaran bom buku, barangkali mereka meyakini bahwa tiga sasaran ini harus dihentikan dan diapa-apakan. Karena mereka bertiga adalah pemimpin atau tokoh penting dalam urusan anti teror, paham liberal, dan penerapan Pancasila. Barangkali ketiga-tiganya dianggap sebagai pemimpin musuh Islam dan musuh umat Islam yang harus dihabisi duluan.”
Sebagai upaya melestarikan hantu teroris, pernyataan agitatif di atas, cukup logis. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Irjen (pol) Ansyaad Mbai, menguatkan spekulasi Abas dengan pernyataan berbalut kebencian. "Keinginan motifnya sudah jelas. Sepuluh tahun ini sudah terungkap di pengadilan, motif mereka ingin mendirikan negara Islam, memberlakukan syariat Islam, dan mengubah pancasila serta UUD 1945," kata Ansyaad Mbai dalam diskusi bertema "Bom Buku Terbitlah Isu" di Warung Daun, Jln. Cikini, Jakarta, Sabtu (19/3/2011).
Padahal, jika kita menggunakan teori dendam Nasir Abas, bahwa ketiga-tiga orang yang dikirimi bom buku, yaitu Ulil Abshar, Gorries Mere dan Japto, dianggap musuh Islam dan umat Islam yang harus dihabisi duluan. Maka, Nasir Abbas lah seharusnya orang yang dihabisi duluan. Sebab, Nasir Abbas pernah menjabat Ketua Mantiqi dalam struktur JI, kemudian berkhianat, dan membantu musuh perjuangan. Bukankah Nasir Abas lebih tepat dijadikan target bom?
Namun faktanya, kondisi Nasir Abas aman, sehingga wajar memunculkan kecurigaan. Disaat masyarakat Indonesia diresahkan berbagai pemboman, Nasir Abas justru bebas berkeliaran mengisi seminar, talk shaw di TV, omongannya jadi rujukan media massa, sambil mengutuk para tersangka teroris. Termasuk berceramah di Pesantren Al Muayyad Solo, 29 April 2010 lalu, membawa misi deradikalisasi teroris.
Sedemikian saktikah Nasir Abas, sehingga eksistensinya tak terancam, bahkan oleh teroris? Atau, jangan-jangan dia bukan sedang membongkar jaringan teroris, melainkan seseorang yang menjalankan peran ganda. Berpura-pura bertobat, yang dalam terminologi gerakan bawah tanah, sedang menjalankan taktik ‘sembunyi di tempat terang,’ dalam rangka menginteli intelijen.
Ketika masih menjadi bagian anggota jaringan terorisme, pria kelahiran Singapore 6 Mei 1969 ini, meyakini kebenaran tujuan, cara perjuangan serta pilihan organisasinya. Setelah bebas dari hukuman sepuluh bulan penjara, dengan tuduhan melanggar UU Keemigrasian, dia tidak saja mengkhianati organisasinya, merecoki teman-teman terorisnya. Tetapi juga, menjual informasi kepada aparat yang dulu dimusuhi, sembari menganggap benar tindakan munafik itu. Maka, bukan mustahil, pelaku bom buku adalah hantu teroris binaan Nasir Abas, dengan memperalat mereka yang berhasil dijinakkan atas nama deradikalisasi terorisme.
Bom Intel
Berbeda dengan Nasir Abas dan Ansyad Mbai, adalah pernyataan mantan Kepala BAKIN Suripto. Menurutnya, kemungkinan teroris mengirim paket bom buku itu sangat kecil, melainkan skenario intelijen. Sebab setelah beberapa tokoh terduga teroris ditangkap, tewas, serta Abu Bakar Ba'asyir yang diduga terlibat terorisme menghadapi pengadilan. Gerakan jaringan teroris di Indonesia tiarap.
Sebenarnya, kita sudah terlalu berpengalaman dengan upaya pihak tertentu mendiskreditkan gerakan Islam di Indonesia. Pada tahun 1961 terjadi kasus penembakan terhadap Presiden RI Bung Karno, saat berpidato di Cikini. Akibatnya, terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota gerakan Islam. Padahal, para pelakunya tetap misterius tidak terungkap hingga sekarang. Begitupun, pada Idul Fithri 1963, terjadi upaya pembunuhan terhadap Soekarno. Sebagai pelakunya, dituduh anggota Masyumi bawah tanah. Tetapi yang terungkap di pengadilan, pelakunya adalah anggota PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pada zaman rezim orde baru muncul berbagai kasus subversi, antara lain Komando Jihad dan pengeboman candi Borobudur, 1985. Dan yang ditangkap adalah Husein Al Habsyi, seorang pemuda yang tidak dapat melihat alias buta, dituduh sebagai dalang pengeboman. Akhirnya, Husein Al Habsyi mendekam di penjara selama 9 tahun 4 bulan, berdasarkan fakta fiktif dan data imajinatif. Bagaimana mungkin seorang buta dapat mengebom stupa candi Borobudur, untuk berjalan saja harus dituntun orang lain?
Kezaliman seperti ini terus dipelihara, seperti dinyatakan mantan Ketua Komisi Yudisial dan sekarang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqaddas dalam disertasi doktornya berjudul : “Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman.”
Busyro dengan tegas menyatakan, bahwa seluruh proses peradilan menunjukkan bahwa institusi peradilan berjalan di bawah kontrol politik dan kekuasaan pemerintah. Akibatnya, proses peradilan berjalan tidak independen dan tidak transparan. Rezim Orde Baru, lanjutnya telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim.
Sejak munculnya bom Bali pertama (2002) kemudian disusul berbagai pengeboman di berbagai tempat, tidak pernah diungkap siapa dalangnya, sekalipun wayangnya banyak yang dihukum mati atau dipenjara bertahun-tahun. Aparat intelijen sengaja menampilkan tokoh kharismatik seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, dengan berbagai rekayasa yang sudah dipersiapkan. Lalu, menanamkan citra kepahlawanan pada yang bersangkutan sehingga tetap menjadi magnit, memiliki daya tarik untuk melakukan tindakan teror. Tujuannya, melestarikan stigma bahwa hantu teroris berasal dari komunitas Muslim, dan menutup kemungkinan adanya hantu teroris dari ideologi dan komunitas lain.
Belajar dari politik diskriminasi terhadap Islam yang dilakukan Soekarno dan Soeharto, agaknya tidak sulit menebak permainan politik yang sedang dimainkan rezim Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Selama pemerintah masih terperangkap dalam belenggu kepentingan politik global, yang mencurigai dan menolak supremasi Islam berperan optimal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ancaman kerusakan jauh lebih besar. Begitupun, selama masih ada orang yang tanpa disadari dapat diperalat sebagai teroris, maka propaganda intelijen akan terus berjalan walaupun rakyat sudah muak dengan segala rekayasa ini. ( arrahmah.com )
No comments:
Post a Comment