Pemerintah Tetap Percaya Diri Walau Utang Makin Menumpuk - Jujur sebagai seorang Perencana Keuangan atau Financial Planner saya harus mengakui bahwa pemerintahan Indonesia saat ini adalah pemerintahan yang cukup Pede alias Percaya Diri tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang terjaga, suku bunga yang rendah, nilai tukar dollar Amerika ke Rupiah yang stabil membuat Pemerintah selalul berfikiran optimis dan positif khususnya di tahun 2011. Hal ini mirip sekali dengan kejadian di tahun 1994-1997 sebelum krismon (alias krisis moneter) di era tahun 90an tersebut.
Akan tetapi apa yang terjadi? Ke -PeDe-an tersebut telah membuat kita lengah. Jumlah utang luar negeri yang bertumpuk waktu itu (khususnya utang swasta dalam mata uang dollar Amerika) membuat kita terlena dan tidak siap akan datangnya gejolak ekonomi.
Bersatunya pimpinan di negara-negara ASEAN yang mencoba mempertahankan mata uang di negara masing-masing agar tetap kuat membuat mata uang di negara-negara regional (anggota ASEAN) menjadi mahal saat itu. Hal inilah yang kemudian dilihat oleh spekulan pasar uang salah satunya adalah George Soros yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan.
Sayangnya rakyat Indonesia panikan. Ketika nilai Rupiah “dinaikan” alias dipaksa naik dari Rp. 2,500 ke Rp. 4,000 (nilai wajar saat itu), masyarakat membaca ini sebagai sinyalemen negatif dan ikut berbondong-bondong memborong dolar Amerika dan membuat dollar Amerika melewati nilai Rp. 15,000 saat itu.
Bagaimana dengan ke-PeDe-an Indonesia saat ini? Utang tetap saja besar, bahkan jauh lebih besar lagi. Hanya saja kalau dahulu kita utang ke luar negeri, saat ini kita utang ke dalam negeri alias ke rakyat Indonesia sendiri. Utang tersebut kemudian ditanamkan untuk pengembangan bisnis yang mengharapkan bisnis tersebut (apapun jenisnya) dapat “laku” di pasaran.
Pertanyaanya adalah apakah masyarakat Indonesia mampu membeli atau membiayai produk-produk / bisnis yang ditawarkan? Dengan inflasi dilapangan yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggi (berbeda dengan data pemerintah dan BPS yang hanya 6-6.5%) membuat biaya hidup meningkat. Biaya hidup yang meningkat ini membuat daya beli masyarakat akan menurun.
Apabila masyarakat “dipaksa” untuk membeli barang-barang diluar kemampuan daya beli mereka, maka mereka akan menggunakan skema utang (kredit konsumtif) untuk membiayai belanja mereka tersebut. Jadi apabila pemerintah dengan “pede” nya mengumumkan bahwa dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir ekonomi Indonesia dibangun oleh pertumbuhan konsumsi.
Pertanyaannya apakah pertumbuhan tersebut dibiayai oleh daya beli masyarakat yang semakin kuat atau justru dengan cara menumpuk utang karena semakin mudahnya mendapatkan fasilitas kredit atau pinjaman konsumtif?.
Risiko apa yang dapat terjadi kemudian? Ketika utang semakin besar,dan biaya hidup semakin tinggi, maka masyarakat akan terbelit utang dan berpotensi sebagai kredit macet. Kalau pada tahun 1997-1998 kredit macet terjadi karena kreditor perusahaan tidak mampu membayar utang-utangnya. Bukan tidak mungkin apabila keadaan seperti ini didiamkan, maka kredit macet bisa saja dipicu oleh kreditor perorangan.
Pada saat yang bersamaan masyarakat mulai panik dan membutuhkan dana untuk membiayai utang mereka ataupun sekedar untuk biaya hidup, yang kemudian terjadi adalah masyarakat mulai menarik dananya keluar dari produk keuangan.
Penarikan produk keuangan seperti tabungan dan deposito serta keluar dari produk investasi (baik saham ataupun khususnya surat utang). Hal ini akan menyebabkan nilai surat berharga utang tersebut akan turun yang akan menyebabkan kepanikan tadi terjadi lagi. Mirip seperti lingkaran setan yang tidak berujung.
Kepedean terakhir yang bisa dilihat juga adalah lambatnya Bank Indonesia menaikan suku bunga acuan (BI Rate). Sebenarnya hal ini pernah terjadi sebelumnya ditahun 2005 ketike Bank Indonesia terlambat menaikan suku bunganya. The Fed secara bertahap telah menaikan suku bunga yang baru direspon oleh Bank Indonesia setelah beberapa bulan kemudian.
Sayangnya kenaikan suku bunga inipun tidak di informasikan terlebih dahulu ke dunia pasar modal (khususnya Bapepam-LK) yang kala itu sedang berusaha untuk memonitor dan memperkecil “jarak” harga jual-beli surat utang (obligasi).
Akibatnya bisa ditebak, pasar panik dan lebih dari 70 triliun dana masyarakat keluar dari pasar modal (obligasi). Semoga saja pemerintah kita belajar dari pengalaman ke “pede” an kita selama ini, dan pemerintah tetap waspada dan membaca kondisi pasar yang berkembang agar tidak terjadi kesalahan seperti sebelumnya. ( blog.tempointeraktif.com )
No comments:
Post a Comment