Pengingkaran Presiden SBY Jadi Berkah Bagi Wakil Presiden Boediono - Janji Presiden untuk memimpin langsung penanganan persoalan bangsa dan negara dijawab dengan mengeluarkan 12 instruksi Presiden. Uniknya Presiden menunjuk Wakil Presiden Boediono untuk mengawasi pelaksanaan instruksi tersebut.
Reaksi terhadap langkah Presiden memang beragam. Yang positif melihat Presiden akhirnya mau berbicara lebih tegas. Paling tidak dalam kasus Gayus Tambunan, Presiden memerintahkan pencopotan pejabat yang terlibat serta dilakukan pembuktian terbalik.
Wakil Presiden Boediono
Namun di pihak lain kita melihat ada kekecewaan bahwa Presiden melimpahkan lagi pengawasan dan penyelesaian persoalan kepada Wapres. Sudah sering terjadi penunjukan pejabat atau tim oleh Presiden tidak menghasilkan apa pun, kecuali menghasilkan rekomendasi yang tidak pasti dilaksanakan juga.
Penjelasan yang disampaikan pakar hukum Prof. Indriyanto Senoadji sangatlah jelas untuk menggambarkan kekurangtepatan Presiden melimpahkan tanggung jawab penyelesaian persoalan bangsa. Pelimpahan kewenangan tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, karena adanya arogansi di antara tiga lembaga penegak hukum yakni Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hanya dengan otoritas Presiden maka arogansi dari ketiga lembaga penegak hukum bisa dihilangkan. Dengan perintah Presiden, maka ketiga lembaga penegak hukum itu bisa diminta untuk berkoordinasi menegakkan keadilan di negeri ini.
Sekarang ini sangat terasa adanya perebutan kewenangan seperti dalam kasus Gayus Tambunan. Setelah bertemu pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution dan KPK berencana untuk mengambil alih kasus, Polri tampak kebakaran jenggot. Mereka segera bergerak menemui Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak untuk meminta berkas pajak 151 perusahaan yang ditangani oleh Gayus.
Padahal kalau memang Polri serius seharusnya ketika Gayus "bernyanyi" saat bersaksi di depan pengadilan, Polri sudah menindaklanjuti apa yang disampaikan Gayus itu. Bukankah dalam bekerjanya selama ini, polisi mencoba mengorek pengakuan terdakwa saat membuat berkas acara pemeriksaan. Sekarang ketika ada pengakuan tanpa tekanan yang disampaikan terdakwa di depan persidangan, aneh jika polisi tidak menganggapnya sebagai bukti pengakuan yang berharga.
Ketika sekarang polisi tergerak untuk mengungkap kasus Gayus apakah ini memang berangkat dari keinginan membongkar mafia pajak atau hanya sekadar bagian darmi upaya embatasi kasus agar tidak melebar terlalu jauh. Bagaimana pun polisi tidak mungkin bisa lepas tangan karena ketika pertama kali merekayasa kasus Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang, polisi ikut terlibat.
Sebenarnya ada dua jenderal polisi yang sudah disebut-sebut ikut menikmati uang Gayus. Namun mereka hanya dilepas dari jabatan struktural, sementara yang harus mendekam di dalam penjara dua pejabat rendahan yakni Kompol Arafat Ernanie dan AKBP Sri Sumartini.
Padahal kalau mengacu kepada instruksi Presiden, kasus Gayus harus ditangani secara bersama-sama oleh KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan PPTAK. Bahkan Presiden secara jelas menginstruksikan untuk tidak berkompromi kepada semua pejabat yang terlibat dalam kasus Gayus.
Inilah sekaligus menjadi tantangan bagi Wapres Boediono. Bagaimana Boediono bisa memberi kontribusi yang lebih positif dalam penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus menyelamatkan muka Presiden.
Selama ini Boediono dianggap tidak memberi manfaat apa-apa kepada pemerintahan maupun kepada Presiden. Peran yang dijalankan sangatlah minimalis dan tidak terasa sama sekali oleh masyarakat. Akibatnya nada sumbang banyak ditujukan kepada Presiden.
Bahkan begitu tidak berartinya, Presiden pun seperti tidak menganggap keberadaan Wapres. Belum ada tindakan besar yang disumbangkan Wapres ketika dipercaya untuk menindaklanjuti berbagai keputusan yang diambil Presiden maupun di dalam Sidang Kabinet.
Wapres kini mempunyai kesempatan emas untuk menorehkan sejarah yang baik dari keberadaannya sebagai orang nomor dua di negeri ini. Pada akhirnya warisan yang akan diingat masyarakat dari seorang pejabat negara adalah kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan untuk kepentingan bangsa dan negara, ketika ia sedang menjabat.
Memang banyak yang meragukan kemampuan Wapres untuk menindaklanjuti instruksi Presiden. Apalagi ada satu kasus yang diminta Presiden untuk diselesaikan yaitu kasus Bank Century. Kita tahu Wapres menjadi orang yang direkomendasikan Pansus DPR ikut terlibat dalam langkah penyelamatan Bank Century yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun.
Namun sebagai seorang intelektual yang menjunjung tinggi integritas, Wapres Boediono pasti bisa membedakan antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi. Prinsip fiat justicia, ruat coelum, walaupun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan?? harus ditegakkan, tentunya dipahami oleh Wapres.
Apalagi jika disadari harga yang harus dibayar, jika momentum ini gagal dimanfaatkan secara baik. Ketidakpercayaan publik kepada pemerintah akan semakin menjadi-jadi, karena pemerintah dianggap hanya pandai mengumbar janji-janji, tanpa mampu memenuhi janji itu. ( metrotvnews.com )
Reaksi terhadap langkah Presiden memang beragam. Yang positif melihat Presiden akhirnya mau berbicara lebih tegas. Paling tidak dalam kasus Gayus Tambunan, Presiden memerintahkan pencopotan pejabat yang terlibat serta dilakukan pembuktian terbalik.
Wakil Presiden Boediono
Namun di pihak lain kita melihat ada kekecewaan bahwa Presiden melimpahkan lagi pengawasan dan penyelesaian persoalan kepada Wapres. Sudah sering terjadi penunjukan pejabat atau tim oleh Presiden tidak menghasilkan apa pun, kecuali menghasilkan rekomendasi yang tidak pasti dilaksanakan juga.
Penjelasan yang disampaikan pakar hukum Prof. Indriyanto Senoadji sangatlah jelas untuk menggambarkan kekurangtepatan Presiden melimpahkan tanggung jawab penyelesaian persoalan bangsa. Pelimpahan kewenangan tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, karena adanya arogansi di antara tiga lembaga penegak hukum yakni Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hanya dengan otoritas Presiden maka arogansi dari ketiga lembaga penegak hukum bisa dihilangkan. Dengan perintah Presiden, maka ketiga lembaga penegak hukum itu bisa diminta untuk berkoordinasi menegakkan keadilan di negeri ini.
Sekarang ini sangat terasa adanya perebutan kewenangan seperti dalam kasus Gayus Tambunan. Setelah bertemu pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution dan KPK berencana untuk mengambil alih kasus, Polri tampak kebakaran jenggot. Mereka segera bergerak menemui Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak untuk meminta berkas pajak 151 perusahaan yang ditangani oleh Gayus.
Padahal kalau memang Polri serius seharusnya ketika Gayus "bernyanyi" saat bersaksi di depan pengadilan, Polri sudah menindaklanjuti apa yang disampaikan Gayus itu. Bukankah dalam bekerjanya selama ini, polisi mencoba mengorek pengakuan terdakwa saat membuat berkas acara pemeriksaan. Sekarang ketika ada pengakuan tanpa tekanan yang disampaikan terdakwa di depan persidangan, aneh jika polisi tidak menganggapnya sebagai bukti pengakuan yang berharga.
Ketika sekarang polisi tergerak untuk mengungkap kasus Gayus apakah ini memang berangkat dari keinginan membongkar mafia pajak atau hanya sekadar bagian darmi upaya embatasi kasus agar tidak melebar terlalu jauh. Bagaimana pun polisi tidak mungkin bisa lepas tangan karena ketika pertama kali merekayasa kasus Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang, polisi ikut terlibat.
Sebenarnya ada dua jenderal polisi yang sudah disebut-sebut ikut menikmati uang Gayus. Namun mereka hanya dilepas dari jabatan struktural, sementara yang harus mendekam di dalam penjara dua pejabat rendahan yakni Kompol Arafat Ernanie dan AKBP Sri Sumartini.
Padahal kalau mengacu kepada instruksi Presiden, kasus Gayus harus ditangani secara bersama-sama oleh KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan PPTAK. Bahkan Presiden secara jelas menginstruksikan untuk tidak berkompromi kepada semua pejabat yang terlibat dalam kasus Gayus.
Inilah sekaligus menjadi tantangan bagi Wapres Boediono. Bagaimana Boediono bisa memberi kontribusi yang lebih positif dalam penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus menyelamatkan muka Presiden.
Selama ini Boediono dianggap tidak memberi manfaat apa-apa kepada pemerintahan maupun kepada Presiden. Peran yang dijalankan sangatlah minimalis dan tidak terasa sama sekali oleh masyarakat. Akibatnya nada sumbang banyak ditujukan kepada Presiden.
Bahkan begitu tidak berartinya, Presiden pun seperti tidak menganggap keberadaan Wapres. Belum ada tindakan besar yang disumbangkan Wapres ketika dipercaya untuk menindaklanjuti berbagai keputusan yang diambil Presiden maupun di dalam Sidang Kabinet.
Wapres kini mempunyai kesempatan emas untuk menorehkan sejarah yang baik dari keberadaannya sebagai orang nomor dua di negeri ini. Pada akhirnya warisan yang akan diingat masyarakat dari seorang pejabat negara adalah kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan untuk kepentingan bangsa dan negara, ketika ia sedang menjabat.
Memang banyak yang meragukan kemampuan Wapres untuk menindaklanjuti instruksi Presiden. Apalagi ada satu kasus yang diminta Presiden untuk diselesaikan yaitu kasus Bank Century. Kita tahu Wapres menjadi orang yang direkomendasikan Pansus DPR ikut terlibat dalam langkah penyelamatan Bank Century yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun.
Namun sebagai seorang intelektual yang menjunjung tinggi integritas, Wapres Boediono pasti bisa membedakan antara kepentingan negara dan kepentingan pribadi. Prinsip fiat justicia, ruat coelum, walaupun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan?? harus ditegakkan, tentunya dipahami oleh Wapres.
Apalagi jika disadari harga yang harus dibayar, jika momentum ini gagal dimanfaatkan secara baik. Ketidakpercayaan publik kepada pemerintah akan semakin menjadi-jadi, karena pemerintah dianggap hanya pandai mengumbar janji-janji, tanpa mampu memenuhi janji itu. ( metrotvnews.com )
No comments:
Post a Comment