Di Indonesia Semakin Hari Beban Hidup Terasa Semakin Berat - Kekayaan alam yang melimpah masih saja berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan. Jumlah yang menikmati kemakmuran sangat kecil jika dibandingkan dengan sebagian besar warga yang hidup dalam kemiskinan dengan beban hidup yang kian berat.
Lihat misalnya, kenaikan harga komoditas pertanian terutama sayur-sayuran dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya seperti telur dan daging 10% hingga 20%.
Kenaikan harga kebutuhan pokok itu antara lain akibat pasokan yang berkurang dan terganggunya distribusi pasokan karena perubahan iklim.
Dan, hampir dipastikan harga-harga kebutuhan pokok itu akan kembali mengalami kenaikan memasuki bulan puasa yang tinggal satu bulan lagi.
Kenaikan harga kebutuhan pokok itu jelas memukul kalangan marginal. Sebab pada saat bersamaan mereka juga sudah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pendidikan anak-anak mereka memasuki tahun ajaran baru ini.
Tapi, pukulan tak berhenti sampai di situ. Beban hidup yang paling dirasakan kalangan marginal jelas akibat penaikan tarif listrik, yang mulai diberlakukan 1 Juli lalu.
Kalangan dunia usaha, yang juga terkena penaikan tarif listrik, sudah pasti tidak mau memikul beban sendirian sehingga mereka, seperti biasanya, juga menaikkan harga jual produk mereka.
Bahkan, sektor-sektor tertentu seperti industri sepatu dan tekstil sedang bersiap-siap melakukan pemutusan hubungan kerja hingga ratusan ribu orang.
Fakta itu memperlihatkan lagi-lagi pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak propublik, apalagi prokalangan marginal.
Penaikan tarif listrik hanyalah cermin jalan pintas dan jalan termudah yang dilakukan PLN tanpa perlu melakukan upaya keras dan serius.
Kemampuan negara untuk mengurangi beban hidup masyarakat yang kian berat itu, celakanya, terlemahkan justru oleh perilaku koruptif negara yang tidak berkurang secara signifikan.
Tengok, misalnya, tingkat korupsi yang kian masif. Begitu juga dengan tingkat kebocoran pembangunan yang kian besar, yang boleh jadi lebih dari 30% seperti pernah dikemukakan begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo.
Jelas ada yang salah dalam proses pembangunan selama ini. Keyakinan pemerintah akan trickledown effect tidaklah menjadi kenyataan. Pertumbuhan tidak otomatis melahirkan pemerataan.
Apalagi, pemerintah sangat buruk dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Itu sebabnya terjadi pelambatan dalam penurunan tingkat kemiskinan. Hanya turun sekitar 1,5 juta orang ketimbang tahun lalu.
Bila beban hidup kian berat, di tengah perilaku koruptif negara yang kian masif, amat tidaklah pantas mengklaim sukses mengelola bangsa dan negara. Bila beban hidup tidak semakin ringan dari waktu ke waktu sementara negara memamerkan perilaku korup dan manipulatif, mana tahan...!!! ( mediaindonesia.com )
Lihat misalnya, kenaikan harga komoditas pertanian terutama sayur-sayuran dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya seperti telur dan daging 10% hingga 20%.
Kenaikan harga kebutuhan pokok itu antara lain akibat pasokan yang berkurang dan terganggunya distribusi pasokan karena perubahan iklim.
Dan, hampir dipastikan harga-harga kebutuhan pokok itu akan kembali mengalami kenaikan memasuki bulan puasa yang tinggal satu bulan lagi.
Kenaikan harga kebutuhan pokok itu jelas memukul kalangan marginal. Sebab pada saat bersamaan mereka juga sudah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pendidikan anak-anak mereka memasuki tahun ajaran baru ini.
Tapi, pukulan tak berhenti sampai di situ. Beban hidup yang paling dirasakan kalangan marginal jelas akibat penaikan tarif listrik, yang mulai diberlakukan 1 Juli lalu.
Kalangan dunia usaha, yang juga terkena penaikan tarif listrik, sudah pasti tidak mau memikul beban sendirian sehingga mereka, seperti biasanya, juga menaikkan harga jual produk mereka.
Bahkan, sektor-sektor tertentu seperti industri sepatu dan tekstil sedang bersiap-siap melakukan pemutusan hubungan kerja hingga ratusan ribu orang.
Fakta itu memperlihatkan lagi-lagi pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang tidak propublik, apalagi prokalangan marginal.
Penaikan tarif listrik hanyalah cermin jalan pintas dan jalan termudah yang dilakukan PLN tanpa perlu melakukan upaya keras dan serius.
Kemampuan negara untuk mengurangi beban hidup masyarakat yang kian berat itu, celakanya, terlemahkan justru oleh perilaku koruptif negara yang tidak berkurang secara signifikan.
Tengok, misalnya, tingkat korupsi yang kian masif. Begitu juga dengan tingkat kebocoran pembangunan yang kian besar, yang boleh jadi lebih dari 30% seperti pernah dikemukakan begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo.
Jelas ada yang salah dalam proses pembangunan selama ini. Keyakinan pemerintah akan trickledown effect tidaklah menjadi kenyataan. Pertumbuhan tidak otomatis melahirkan pemerataan.
Apalagi, pemerintah sangat buruk dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Itu sebabnya terjadi pelambatan dalam penurunan tingkat kemiskinan. Hanya turun sekitar 1,5 juta orang ketimbang tahun lalu.
Bila beban hidup kian berat, di tengah perilaku koruptif negara yang kian masif, amat tidaklah pantas mengklaim sukses mengelola bangsa dan negara. Bila beban hidup tidak semakin ringan dari waktu ke waktu sementara negara memamerkan perilaku korup dan manipulatif, mana tahan...!!! ( mediaindonesia.com )
hemmmmmmmmmmmmm, menyedihkan sekali. yg kek gini nih masih dipertahankan.wahai rakyat segeralah lakukan revolusi. yg diatas kerjanya jual beli kasus aja.
ReplyDeletekalau sudah tau begini,trus apa yg mesti dilakukan rakyat kecil seperti saya,..diam saja meratapi nasib republik,berkoar-koar dijalan,atau terus berjuang agar bisa tetep makan di kondisi yg sangat memalukan ini.
ReplyDelete