Tugas dan Peran TB Silalahi Sebagai Informan Amerika Di Indonesia

Tugas dan Peran TB Silalahi Sebagai Informan Amerika Di Indonesia - Tiopan Bernhard Silalahi disebut-sebut sebagai informan terpenting Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang diungkap WikiLeaks. Ia bisa dikenai pasal kejahatan terhadap negara. Tapi mengapa aparat diam-diam saja?

Ban bocor itu perkara biasa. Hanya dengan ongkos lima ribu rupiah, setengah jam kemudian tukang tambal ban sudah bisa menanggulangi kebocoran itu dengan rapi. Tapi jika aib dan rahasia negara yang bocor, stabilitas nasional terkoyak dan kredibilitas pejabat negara pun longsor. Apalagi jika berbagai informasi itu dibocorkan ke negara asing dan kemudian diumbar bebas ke jaringan internet.


http://www.suara-islam.com/news/images/stories/tb%20silalahi.jpg


Hal itulah yang terjadi sejak dua pekan lalu, ketika berbagai informasi sensitif dan rahasia yang menyangkut Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dibocorkan para komprador kepara para diplomat Amerika Serikat, lalu diunduh penyedia jasa dokumen via internet WikiLeaks, dan kemudian diungkap dan diumbar bebas oleh media asing. Sayang, hingga kini si pembocor informasi itu masih bisa berlenggang kangkung.

Semua berawal dari headline dua koran terbitan Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald (TSMH), Jum’at, 11 Maret lalu. Dengan judul “Yudhoyono ‘Abused Power’” dan sub judul “Cables Accuse Indonesian President of Corruption", The Age menulis isu-isu sensitif tentang SBY dan orang-orang di sekitarnya. Adapun TSMH mengerek judul, “Corruption Allegations Against Yudhoyono” di headline dan satu artikel berjudul, “Allegation of Fear and Favour Persist” di halaman 6.

Ketiga artikel itu ditulis Philip Dorling, wartawan Australia yang ahli masalah Indonesia dan getol menulis dengan bahan bocoran WikiLeaks. Ketiga tulisan itu intinya sama dan saling melengkapi, dengan bahan berbagai kawat diplomatik Kedubes AS yang diperoleh WikiLeaks. Pembongkaran itu terjadi saat Wapres Boediono bertemu Perdana Menteri ad interim Australia Wayne Swan di Canberra dan berdialog tentang reformasi birokrasi Indonesia yang korup.

Artikel-artikel itu mengungkap sejumlah kawat diplomatik rahasia AS hasil bocoran informasi sumber dalam negeri tentang dugaan keterlibatan SBY di sejumlah kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja hal ini menodai reputasi SBY yang dikenal sebagai politisi bersih dan reformis. Menurut kawat itu, SBY dikabarkan telah turut campur secara pribadi, serta mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh politik.

Berdasarkan laporan itu, The Age mengungkap bahwa istri SBY, Kristiani Herrawati dan keluarga besarnya berupaya memperkaya diri dengan berbagai koneksi politik dan pengaruh. “Banyak sumber bercerita kepada kami bahwa anggota keluarga Kristiani mulai membangun perusahaan untuk mengkomersilkan pengaruh keluarga mereka,” tulis koran itu dengan mengutip kawat diplomatik AS.

TSMH bahkan menulis, karena pengaruh sang first lady di belakang layar, Kedubes AS menggambarkan Kristiani sebagai “salah satu anggota kabinet” dan “penasehat utama Presiden yang tak terbantahkan.” Padahal, mereka melaporkan pula bahwa, “Sebagai Penasehat Presiden, TB Silalahi bercerita (kepada diplomat AS), bahwa para anggota Staf Presiden makin merasa terpinggirkan dan tak bisa memberikan nasehat kepada Presiden.”

Sementara, tulis Dorling di TSMH, Yahya Asagaf (seorang agen) dari BIN, mengatakan bahwa pendapat sang Ibu Negara adalah acuan satu-satunya di berbagai masalah. Dengan tegas, beberapa kontak Kedubes AS mengidentifikasi Kristiani sebagai orang yang paling berpengaruh di belakang kebijakan SBY untuk mencoret Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai sekondannya dalam pemilu presiden 2009 lalu.

Laporan yang diperoleh WikiLeaks dan disajikan secara eksklusif oleh The Age menjelaskan, tak lama setelah menjadi Presiden pada 2004, SBY mengintervensi kasus Taufik Kiemas, suami bekas Presiden Megawati Sukarnoputri. Taufik dilaporkan telah memanfaatkan pengaruh istrinya di PDI Perjuangan, untuk mencari perlindungan atas tuntutan dari apa yang disebut para diplomat AS itu sebagai “sebuah korupsi paling legendaris di masa jabatan isterinya.”

Kedubes AS melaporkan pula bahwa pada Desember 2004, informan politik mereka yang sangat berharga sekaligus Penasehat Presiden TB Silalahi, mengatakan bahwa Hendarman Supandji --dalam laporan disebut sebagai Asisten Jaksa Agung dan Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi-- telah mendapat bukti cukup, dalam kasus korupsi yang melibatkan Taufik, untuk menangkap sang “first gentleman”. “Tapi Silalahi bercerita ke Kedubes AS bahwa SBY memerintahkan kepada Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufiq,” tulis laporan itu.

Beberapa aib yang tertuang dalam kawat-kawat rahasia itu juga diungkap di tulisan Dorling. Misalnya dugaan bahwa SBY dan Sekkab Sudi Silalahi mengintimidasi seorang hakim dalam kasus sengketa Partai Kebangkitan Bangsa, untuk mengontrol PKB Gus Dur. Menurut kontak Kedubes AS itu, Sudi mengatakan kepada sang hakim, “Jika persidangan membantu (PKB Gus Dur), itu sama saja membantu menggulingkan pemerintahan.”

Namun. intervensi tangan kanan SBY ini tak langsung berhasil karena menurut sumber Kedubes AS yang punya hubungan dekat dengan PKB dan pengacara, para pendukung Gus Dur menyuap hakim Rp 3 milyar untuk putusan yang memenangkan kubu PKB Gus Dur. Tapi, sasaran strategis SBY tercapai setelah tekanan luar terhadap posisi sulit Gus Dur memaksa PKB mendukung pemerintah.

Dalam kawat-kawat itu SBY juga dilaporkan telah memanfaatkan BIN untuk mengintai menterinya sendiri. “Menurut seorang pejabat intelijen Indonesia, SBY memerintahkan Kepala BIN Syamsir Siregar agar anak buahnya memata-matai menteri senior di kabinetnya, Mensesneg Yusril (Ihza) Mahendra, saat kunjungan rahasia ke Singapura untuk bertemu para pengusaha keturunan Cina di sana,” tulis laporan itu.

SBY pun menugasi BIN untuk memata-matai bekas Panglima TNI Jenderal Purn. Wiranto, saingannya di pemilihan presiden. Lagi-lagi sumber info itu adalah TB Silalahi. “Pak (TB) Silalahi bercerita kepada beberapa diplomat AS bahwa Pak Yudhoyono membagi laporan yang sangat sensitif dari BIN tentang berbagai masalah politik hanya untuk dirinya dan Sekkab Sudi Silalahi,” tulis laporan yang dikutip TSMH.

Meski SBY menang besar dalam pemilu 2009, utusan AS menyimpulkan bahwa ia mulai kehilangan dukungan politik. Kontroversi politik sejak akhir 2009 hingga 2010, membuat popularitas SBY jatuh, dan menurut Kedutaan AS, telah membuat Presiden makin lumpuh. “Karena tak ingin mengambil risiko dikucilkan dari parlemen, media, birokrasi dan masyarakat sipil, reformasi SBY menjadi lambat,” tulis Dorling berdasarkan laporan itu.

Selain soal politik, bocoran kawat juga menyinggung soal ekonomi. Seperti dilansir The Age, dan situs asiasentinel.com, terungkap bahwa di sebuah pertemuan di tahun 2006 dengan Ketua Umum Partai Demokrat, SBY meratapi kegagalannya dalam berbisnis. Ia tampaknya merasa “harus mengejar ketinggalan (dan) ingin memastikan bahwa ia meninggalkan warisan yang cukup besar bagi anak-anaknya.”

Untuk menyelidiki kepentingan pribadi, politik, dan bisnis SBY, diplomat AS mencatat hubungan SBY dan pengusaha Indonesia keturunan China, terutama Tomy Winata, yang ditengarai anggota “Geng Sembilan Naga”. Menurut kawat-kawat itu, pada 2006, Agung Laksono, kini Menkokesra, mengatakan kepada pejabat Kedutaan AS bahwa TB Silalahi, Penasihat Presiden di bidang politik, “berfungsi sebagai perantara, yang menyalurkan dana dari Tomy ke SBY, (dan) melindungi SBY dari potensi kewajiban yang bisa muncul bila SBY berurusan langsung dengan Tomy.”

Tomy dilaporkan telah memanfaatkan pengusaha muda Muhammad Lutfi sebagai channel dana untuk SBY. SBY pun akhirnya menunjuk Lutfi sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanam Modal (BKPM). Dalam kawat-kawat itu, pejabat senior BIN, Yahya Asagaf, juga mengatakan kepada Kedutaan AS bahwa Tomy sedang berusaha mengembangkan pengaruh dengan menggunakan pembantu senior presiden sebagai chanelnya ke istri Presiden, Kristiani Herawati.

Tercoreng dan Terpukul

Bocornya berbagai aib dan informasi peka itu tentu saja mengundang reaksi. Presiden SBY jelas paling terpukul. Sebab, rangkaian tulisan di The Age dan di TSMH itu telah mencoreng wajah dan citranya sebagai politisi santun. Saking terpukulnya, sampai-sampai SBY tidak shalat Jum’at pada Jum’at siang itu. Dia dikabarkan hanya mengurung diri di Istana. “Pak SBY sedang kurang sehat,” kata Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Padahal, Kamis Sore, 10 Maret, SBY sudah mendapat kabar via faksimili tentang rencana The Age dan TSMH menurunkan berita itu. Malam itu, pukul 21.00, SBY memanggil sejumlah menteri untuk membahasnya. Dua setengah jam kemudian, berita itu tayang di situs dua koran tadi. “Semalam Presiden sudah membaca berita yang dirilis dan diangkat kedua media,” kata Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, Jumat, 11 Maret 2011.

Menurut Julian, Presiden sangat kaget dan menyesalkan ketidakvalidan data mereka. Namun, kata sumber Suara Islam (SI) di Istana Negara, malam itu raut muka SBY langsung kecut saat membaca tulisan-tulisan itu. Ia lalu membantah satu per satu. Sementara istrinya, Ani Yudhoyono, tampak murung dan berkali-kali mengurut dada. Esok harinya, Jumat 11 Maret, rapat kabinet digelar untuk membahas masalah ini.

Hulu balang istana tentu membantah keras semua isi pemberitaan kedua koran itu. “Itu kami sesalkan, terutama yang dikatakan Ibu Negara adalah broker. Itu luar biasa menghina,” kata Sudi di Kantor Presiden, Jakarta. “Martabat negara kita betul-betul dilecehkan,” tambahnya. Menurut dia, Ibu Negara sampai menangis, sedih dan merasa terpukul oleh pemberitaan kedua media asing itu.

Bantahan juga dinyatakan Menkopolhukkam Djoko Suyanto. “Tuduhan bahwa Presiden SBY dan Ibu Ani korupsi, menyalahgunakan kekuasaan, mempengaruhi proses pengadilan adalah tidak benar,” ujarnya. Sementara, kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga, berita itu palsu. “Isinya penuh sensasi dan seronok, penuh bualan dan basi,” kata dia.

Menurut Daniel, pemerintah sedang mengambil langkah untuk meluruskannya, antara lain meminta Kedubes AS dan TB Silalahi mengklarifikasi. Karena itu, Jumat pagi, Duta Besar AS Scot Marciel langsung dipanggil Menlu Marty Natalegawa. Pemerintah pun melayangkan nota protes ke Washington, dan mengirimkan surat protes ke kedua koran itu.

Pemerintah AS lewat Kedubesnya di Jakarta pun meminta maaf. “Pengungkapan informasi ini benar-benar sangat tidak bertanggung jawab. Kami mengungkapkan penyesalan paling mendalam kepada Presiden Yudhoyono dan rakyat Indonesia,” demikian pernyataan resmi Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Tapi tunggu dulu. Dalam pernyataan resminya, Kedubes AS tak membantah isi kawat-kawat diplomatik itu. Sementara dalam jumpa pers janggal di Kemlu usai pertemuan Marty dan Marciel, Dubes AS itu menolak membenarkan atau menyangkal kebenaran kawat-kawat itu. Ia juga tak mau mengomentari berbagai tuduhan dalam kawat dipomatik itu. Belakangan ia kemudian kabur saat Marty masih melayani jumpa pers.

Anehnya, Sudi menyatakan tak akan meminta keterangan TB Silalahi, yang disebut beberapa kali sebagai sumber informasi kawat diplomatik rahasia Kedubes AS yang disadap Wikileaks serta dimuat The Age dan TSMH itu. Padahal ia pun disebut sebagai informan politik terpenting bagi AS di Jakarta. “Biar yang bersangkutan saja (mengklarifikasi),” kata Sudi.

TB Silalahi dan Perannya

Tentu saja TB Silalahi membantah semua berita itu. Menurut dia, peristiwa dirinya berkata kepada diplomat AS seputar intervensi SBY ke Kejaksaan Agung itu tak pernah ada. “Mungkin diplomat-diplomat muda ini ingin menunjukkan prestasi dengan mengarang apa saja, seakan-akan menunjukkan bahwa mereka berhasil (mengumpulkan informasi),” ujarnya.

TB Silalahi pun menyalahkan sebutan yang dipakai untuknya sebagai informan AS. “Apa Amerika itu intelnya goblok? Nama dan jabatan informannya disebut lengkap. Mana pernah ada di dunia intelijen, informan dibuka kedoknya,” ujarnya. Ia lalu menjelaskan bahwa dirinya memang kerap bertemu diplomat asing, tak hanya dari AS. “Tapi masa kita menjelekkan pemerintah kita sendiri?” katanya.

Isi laporan itu, kata TB Silalahi, sangat tak masuk akal. Sebab, Desember 2004, Hendarman belum jadi Jampidsus. “Hendarman baru diangkat jadi Jaksa Agung Muda pada 21 April 2005, dan menjadi Ketua Timtastipikor pada 2 Mei 2005,” ujarnya. Jadi tidak logis jika pada Desember 2004 ia melaporkan bahwa SBY telah memerintahkan Hendarman sebagai Jaksa Agung Muda, unyuk menghentikan pemeriksaan Taufiq Kiemas. “Laporan itu jelas sekali bohong,” katanya.

Tomy Winata, pengusaha yang disebut sebagai cukong SBY juga membantah berita itu “Andaikata saya harus jilat sepatu bapak-bapak (para wartawan) yang penuh dengan kotoran, harga diri saya itu tidak direndahkan oleh bapak-bapak. Demi 1 juta keluarga yang harus hidup bulan-bulan ke depan. Asal itu jangan jadi berita yang dipercaya,” kata bos Artha Graha itu heroik, di hotel miliknya, Hotel Borobudur.

Hubungan TB Silalahi dengan Tomy memang sangat dekat. Kedekatan mereka terjalin saat TB Silalahi menjadi Ketua Yayasan Eka Paksi milik TNI AD, yang banyak bekerja sama dengan Grup Artha Graha milik Tomy. Tapi Tomy membantah tudingan WikiLeaks. “Hubungan saya dengan Presiden hanya hubungan warga negara dengan pemimpin pemerintahan,” ujarnya. Soal kedekatannya dengan TB Silalahi, ia mengaku hanya hubungan kerja biasa.

Tapi, benarkah Hendarman Supandji baru menjabat sebagai Jaksa Agung Muda pada 21 April 2005?

Ternyata, setelah ditelusuri via internet, diketahui bahwa Hendarman menjabat sebagai Jampidsus pada 25 April 2002 sampai 2004, bukan 25 April 2005, seperti kata TB Silalahi. Dari situs Kepustakaan Kepresidenan, situs Kejaksaan Agung, dan sebagainya, diperoleh data sama: Hendaraman diangkat menjadi Jaksa Agung Muda di masa Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pada 2002-2004. Jadi tampak jelas siapa yang berkelit namun gagal.

Sayang, gawatnya laporan TB Silalahi sebagai informan AS, tak dirasa penting oleh SBY dan hulu balangnya. Mereka merasa lebih penting membantah apa yang dilaporkan sebagai “laporan yang tidak benar tentang SBY”. Memang, di sebuah talkshow di Metro TV, Staf Khusus Presiden Daniel Sparingga, menyeru TB Silalahi agar mengklarifikasikan omongannya ke Kedubes AS.

Daniel menyarankan kepada TB Silalahi agar jika bicara dengan diplomat asing, terutama AS, harus hati-hati. “Janganlah omongan, gosip kelas warungan, dibungkus menjadi seperti cerita yang benar, lalu diteruskan ke diplomat asing seperti dari AS,” ujarnya. Kata Daniel, itu sangat berbahaya karena mereka bisa menganggap serius, dijadikan data diplomatik dan dilaporkan ke pemerintah pusatnya.

Padahal, kawat diplomatik bukanlah sekadar laporan biasa. Kawat diplomatik biasa ditulis para diplomat berdasarkan konversasi ataupun pengamatan di negara penempatan. Kredibilitas kawat itu sulit diragukan karena -seperti berita wartawan atau hasil riset peneliti– selalu dicek silang, dirapatkan, diperiksa atasan, dan diverifikasi sebagai dokumen negara. Karena itu, “TB Silalahi harus dipanggil dan ditanya,” kata bekas KSAD Tyasno Sudarto di Jakarta, Ahad (20/3/2011).

Tangkap Antek Asing

Sementara itu, menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, pemerintah harus membentuk tim investigasi yang independen dan kredibel untuk mengungkap para pejabat yang memberikan informasi kepada diplomat AS dan motivasi mereka. “Ini penting karena laporan diplomat AS ke Washington tak mungkin hasil rekayasa mereka sendiri,” ujarnya.

Karena itu, jika isi kawat ini benar, apa yang dilakukan TB Silalahi adalah sebuah tindak pidana atas negara dan harus ditindaklanjuti dengan serius BIN. Menjadi informan pihak asing adalah perbuatan serius yang bisa digolongkan sebagai mata-mata asing. “Perbuatan ini adalah suatu pengkhianatan terhadap negara,” kata pengacara senior dan Direktur An-Nashr Institute Munarman SH.

Hingga kini aparat kepolisian masih tenang-tenang saja. Padahal, kasus seperti ini bukanlah delik aduan. Dalam pasal 112 KUHP disebutkan bahwa, Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam penjara paling lama 7 tahun. “Polisi bisa langsung menyidik. Antek-antek asing seperti dia harus ditangkap,” kata Munarman.

Memang, hingga kini belum jelas detail isi kawat diplomatik Kedubes AS di Jakarta, dan berbagai informasi yang dilaporkan TB Silalahi, kecuali yang sudah dimuat The Ages dan TSMH. Jadi belum diketahui apakah laporan-laporan itu menyangkut rahasia negara, atau justru hanya “sekadar” aib SBY. Sebab, jika baru sebatas laporan tentang penyalahgunaan kekuasaan SBY, laporan itu belum dapat digolongkan sebagai perbuatan kejahatan terhadap negara.

Saat ini konon masih banyak bocoran kawat Kedubes AS di Indonesia yang dipegang WikiLeaks. Pembocoran kawat ini memang telah didengung-dengungkan sejak akhir tahun lalu. Menurut WikiLeaks, masih ada 3.059 kawat diplomatik dari Kedubes AS di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya. Berarti siapapun harus siap menanti bocoran aib yang masih mengancam. ( suara-islam.com )




Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!

Nasionalisme
Budaya Dari Istana


No comments:

Post a Comment