Benarkah Ekonomi 2011 Kembali Tidak Berpihak Pada Rakyat Bawah? - Bila bercermin dari kebijakan tahun 2010, jawabannya sangat mungkin bila pemerintah SBY-Boediono tidak melakukan perubahan kebijakan.
Tahun lalu indikator ekonomi yang kinclong ternyata bukan pada indikator yang menunjukkan kegiatan ekonomi masyarakat bawah. Indikator keuangan misalnya, tahun 2010 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat kenaikan indeks tertinggi di Asia Tenggara. Mampu mencetak rekor baru dengan lonjakan luar biasa dari 2,575 pada awal tahun, menembus 3.700 pada akhir tahun.
Indikator keuangan lainnya, seperti cadangan devisa dan nilai tukar rupiah juga menunjukkan peningkatan luar biasa. Gelombang hot money telah menggelembungkan cadangan devisa dari hanya sekitar 51 miliar dollar AS menjadi lebih dari 90 miliar dolar AS pada akhir tahun 2010. Banjir hot money juga telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah sebesar 19 persen, merupakan apresiasi tertinggi diantara negara-negara Asia.
Sektor riil diabaikan
Namun, harus dipahami bahwa angka-angka yang luar biasa tersebut sebenarnya tidak mewakili aktivitas ekonomi masyarakat bawah. Alasannya, pelaku bisnis di sektor keuangan didominasi investor asing dan sekelompok kecil pemain domestik. Meskipun indeks harga saham meningkat dan memberikan banyak keuntungan (gain), tetapi yang menikmati keuntungan tentu saja hanya mereka yang terlibat di pasar saham. Sayangnya, hingga hari ini 65% perdagangan saham di BEI dikuasai pemain asing. Sedangkan investor domestik yang ikut terlibat di sektor ini tidak mencapai 400.000 orang atau kurang dari 2% penduduk.
Sebaliknya, kebijakan yang sangat berpihak kepada sektor keuangan sehingga indikator-indikator finansial sangat luar biasa tersebut, justru sangat menekan kinerja ekonomi sektor riil. Menguatnya nilai tukar rupiah misalnya, akan melemahkan daya saing ekspor Indonesia karena barang ekspor kita menjadi terlihat mahal di negara importir. Apalagi sebagian besar ekspor Indonesia adalah bahan mentah yang harganya sangat ditentukan oleh pasar dunia.
Menguatnya nilai tukar rupiah juga mendorong impor Indonesia. Barang-barang impor menjadi lebih murah bagi konsumen bila nilai tukar mata uang Indonesia menguat. Inilah yang menyebabkan tahun 2010 pertumbuhan impor Indonesia, terutama untuk barang-barang dari China, melaju sangat pesat. Masuknya produk murah ini memang dalam jangka pendek memang menguntungkan konsumen, akan tetapi akan semakin menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing dan bertahan.
Dengan alasan menyelamatkan sektor riil inilah, banyak negara terutama Amerika Serikat dan China terus melancarkan perang mata uang. Saling berebut untuk membuat nilai tukarnya lebih lemah dibanding nilai tukar negara mitra dagangnya. Tujuan Amerika dan China dalam perang mata uang tentu saja agar ekspor mereka tidak terganggu dan pasar dalam negeri tidak direbut produk impor.
China merupakan salah satu contoh negara yang gigih melakukan perlawanan atas tekanan AS dan negara-negara Eropa yang berkeinginan China mempercepat melakukan penguatan nilai tukar yuan. China melakukan berbagai maneuver untuk menghindari tekanan Barat karena bagi China strategi nilai tukar lemah merupakan benteng untuk mempertahankan daya saing industri pengolahannya.
Apreasiasi yuan terhadap dollar AS tentu akan mengerek harga produk China di AS sehingga menekan permintaan terhadap produk ekspor China. Padahal bagi China, industri pengolahan sangat strategis karena menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja. Menurunnya daya saing industri tentu akan membahayakan stabilitas sosial politik negara dengan penduduk lebih dari 1,3 milyar.
Sayangnya pemerintah Indonesia justru memilih kebijakan yang berkebalikan. Meskipun berdampak negatif terhadap sektor riil namun bagi kabinet SBY-Boediono, rupiah yang menguat justru dinilai sebagai keberhasilan. Demikian juga melambungnya IHSG dianggap prestasi, padahal ada ancaman terjadinya gelembung finansial. Suku bunga tinggi dianggap sebuah keharusan agar dana asing masuk dan persediaan devisa untuk impor terpenuhi.
Lalu bagaimana kebijakan sektor keuangan tahun 2011? Dipastikan kebijakan keuangan tahun 2010 akan berlanjut dan tidak akan ada perubahan kebijakan yang mendasar. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan merubah kebijakan untuk mencegah banjirnya dana asing masuk ke Indonesia dengan berbagai kebijakan baik penurunan suku bunga, penerapan pajak, dll. Kebijakan keuangan yang longgar, bahkan cenderung membiarkan dan mendorong masuknya hot money, akan menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investasi portfolio dunia.
Intervensi dari negara-negara maju maupun lembaga multilateral agar Indonesia tetap mempertahankan kebijakan sektor keuangan yang sangat longgar, tentu akan terus terjadi lewat berbagai cara. Mengapa? Tentu karena Indonesia menjadi semakin penting bagi investor asing. Sebagaimana diketahui sejak awal 2010 banyak negara seperti Thailand, Korea Selatan dan Brasil, telah menerapkan berbagai kontrol devisa untuk membendung masuknya dana-dana jangka pendek.
Pilihan Indonesia yang tidak berani melakukan kontrol devisa sangat disayangkan karena konsekwensinya kepemilikan asing di SUN, SBI dan saham akan terus menggelembung. Bila tahun 2008 total dana asing hanya sebesar Rp 548 triliun, telah menjadi sebesar Rp 1.374 triliun tahun ini dan pada tahun 2011 dipastikan akan jauh jauh lebih besar.
Tambahan lagi, kebijakan suku bunga SBI yang tinggi tentu ada konsekwensi mahalnya ongkos yang harus dibayar. Selain ancaman terjadi pembalikan modal, ongkos juga harus dibayar dengan modal Bank Indonesia yang akan terus tergerus karena harus membayarkan bunga bagi investor asing yang memborong SBI. Di sisi lain, para pengusaha juga harus membayar mahal suku bunga kredit dan harus memberikan keuntungan yang tinggi dari surat utang yang diterbitkannya.
Tidak berani berubah
Tahun 2011, dunia termasuk juga Indonesia, akan menghadapi krisis pangan dan energi. Perubahan iklim dan bencana akan menurunkan pasok pangan dunia terutama beras dan gandum. Menghadapi krisis tersebut seharusnya pemerintah SBY-Boediono berani melakukan koreksi kebijakan pangan dan energi.
Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dihilangkan sehingga harga pangan ditentukan oleh pasar, masyarakat bawah terus menghadapi beban gejolak kenaikan harga yang tidak sebanding dengan kenaikan pendapatannya. Demikian juga kenaikan harga energi terutama BBM dan juga TDL selama ini terbukti memberikan dampak negatif baik langsung maupun tidak terhadap ekonomi.
Sayangnya SBY-Boediono tidak akan berani memerintahkan para menterinya untuk mengoreksi liberalisasi pangan dan pengebirian Bulog yang dilakukan tahun 1998 lewat letter of intent IMF. Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi untk menghilangkan peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan adalah kebijakan yang menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat kelompok bawah.
Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. Meski kini sebagain saham Bernas telah menjadi milik publik, tetapi perannya dalam menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, bahkan masih dikontrol dengan harga patokan tertinggi.
Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebanyak 62% keluarga di Malaysia memiliki pendapatan minimal lima juta rupiah per bulan. Sangat tidak pantas bila pemerintah memilih menghilangkan peran pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap harga pangan, padahal di Indonesia 42% penduduk masih pada level sensisif terhadap kenaikan harga pangan pokok.
Sayangnya, sangat sulit berharap SBY-Boediono melakukan perubahan orientasi kebijakan ekonomi agar lebih berpihak kepada masyarakat bawah. Untuk mengatasi krisis pangan, tidak mudah membayangkan SBY-Boediono mengembalikan peran negara dalam stabilisasi pangan dengan mengembalikan peran Bulog dan mewujudkan kedaulatan pangan dengan dukungan perubahan kebijakan komprehensif karena akan ditentang oleh IMF dan Bank Dunia yang pada tahun 1998 mengusulkan pelemahan Bulog.
Apalagi untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berarti SBY-Boediono juga harus memprioritaskan gas alam untuk pabrik pupuk milik negara. Menyediakan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian dan menyusun kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri. Selain itu, tidak akan mungkin berani mengalokasikan anggaran lebih besar pada APBN untuk menyerap produksi beras dalam negeri karena alokasi anggaran yang besar dinilai tidak menerapkan prinsip disiplin anggaran yang diajarkan dalam konsep Konsensus Washington.
Terbukti, ditengah beban masyarakat yang semakin berat kenaikan harga pangan yang cukup tinggi selama tahun 2010, SBY-Boediono justru membiarkan para menterinya melakukan pengurangan subsidi BBM di tahun 2011. Padahal kebijakan tersebut akan beresiko karena belum ada persiapan matang. Penghematan anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi ini tidak akan sebanding dengan ongkos yang akan ditanggung ekonomi lewat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi.
Apalagi berharap SBY-Boediono melakukan pembatasan terhadap dana asing jangka pendek karena saat kampanye Boediono berjanji kepada investor asing bahwa tidak akan merubah kebijakan dan tidak akan mengganggu kepentingan mereka di sektor keuangan. Jadi jangan berharap tahun ini Boediono akan berubah untuk lebih memprioritaskan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang menyangkut kehidupan sebagian besar rakyat bawah yakni pertanian, industri dan perdagangan karena memang SBY-Boediono tidak pernah dijanjikan. ( suara-islam.com )
Tahun lalu indikator ekonomi yang kinclong ternyata bukan pada indikator yang menunjukkan kegiatan ekonomi masyarakat bawah. Indikator keuangan misalnya, tahun 2010 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat kenaikan indeks tertinggi di Asia Tenggara. Mampu mencetak rekor baru dengan lonjakan luar biasa dari 2,575 pada awal tahun, menembus 3.700 pada akhir tahun.
Indikator keuangan lainnya, seperti cadangan devisa dan nilai tukar rupiah juga menunjukkan peningkatan luar biasa. Gelombang hot money telah menggelembungkan cadangan devisa dari hanya sekitar 51 miliar dollar AS menjadi lebih dari 90 miliar dolar AS pada akhir tahun 2010. Banjir hot money juga telah mendorong penguatan nilai tukar rupiah sebesar 19 persen, merupakan apresiasi tertinggi diantara negara-negara Asia.
Sektor riil diabaikan
Namun, harus dipahami bahwa angka-angka yang luar biasa tersebut sebenarnya tidak mewakili aktivitas ekonomi masyarakat bawah. Alasannya, pelaku bisnis di sektor keuangan didominasi investor asing dan sekelompok kecil pemain domestik. Meskipun indeks harga saham meningkat dan memberikan banyak keuntungan (gain), tetapi yang menikmati keuntungan tentu saja hanya mereka yang terlibat di pasar saham. Sayangnya, hingga hari ini 65% perdagangan saham di BEI dikuasai pemain asing. Sedangkan investor domestik yang ikut terlibat di sektor ini tidak mencapai 400.000 orang atau kurang dari 2% penduduk.
Sebaliknya, kebijakan yang sangat berpihak kepada sektor keuangan sehingga indikator-indikator finansial sangat luar biasa tersebut, justru sangat menekan kinerja ekonomi sektor riil. Menguatnya nilai tukar rupiah misalnya, akan melemahkan daya saing ekspor Indonesia karena barang ekspor kita menjadi terlihat mahal di negara importir. Apalagi sebagian besar ekspor Indonesia adalah bahan mentah yang harganya sangat ditentukan oleh pasar dunia.
Menguatnya nilai tukar rupiah juga mendorong impor Indonesia. Barang-barang impor menjadi lebih murah bagi konsumen bila nilai tukar mata uang Indonesia menguat. Inilah yang menyebabkan tahun 2010 pertumbuhan impor Indonesia, terutama untuk barang-barang dari China, melaju sangat pesat. Masuknya produk murah ini memang dalam jangka pendek memang menguntungkan konsumen, akan tetapi akan semakin menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing dan bertahan.
Dengan alasan menyelamatkan sektor riil inilah, banyak negara terutama Amerika Serikat dan China terus melancarkan perang mata uang. Saling berebut untuk membuat nilai tukarnya lebih lemah dibanding nilai tukar negara mitra dagangnya. Tujuan Amerika dan China dalam perang mata uang tentu saja agar ekspor mereka tidak terganggu dan pasar dalam negeri tidak direbut produk impor.
China merupakan salah satu contoh negara yang gigih melakukan perlawanan atas tekanan AS dan negara-negara Eropa yang berkeinginan China mempercepat melakukan penguatan nilai tukar yuan. China melakukan berbagai maneuver untuk menghindari tekanan Barat karena bagi China strategi nilai tukar lemah merupakan benteng untuk mempertahankan daya saing industri pengolahannya.
Apreasiasi yuan terhadap dollar AS tentu akan mengerek harga produk China di AS sehingga menekan permintaan terhadap produk ekspor China. Padahal bagi China, industri pengolahan sangat strategis karena menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja. Menurunnya daya saing industri tentu akan membahayakan stabilitas sosial politik negara dengan penduduk lebih dari 1,3 milyar.
Sayangnya pemerintah Indonesia justru memilih kebijakan yang berkebalikan. Meskipun berdampak negatif terhadap sektor riil namun bagi kabinet SBY-Boediono, rupiah yang menguat justru dinilai sebagai keberhasilan. Demikian juga melambungnya IHSG dianggap prestasi, padahal ada ancaman terjadinya gelembung finansial. Suku bunga tinggi dianggap sebuah keharusan agar dana asing masuk dan persediaan devisa untuk impor terpenuhi.
Lalu bagaimana kebijakan sektor keuangan tahun 2011? Dipastikan kebijakan keuangan tahun 2010 akan berlanjut dan tidak akan ada perubahan kebijakan yang mendasar. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan merubah kebijakan untuk mencegah banjirnya dana asing masuk ke Indonesia dengan berbagai kebijakan baik penurunan suku bunga, penerapan pajak, dll. Kebijakan keuangan yang longgar, bahkan cenderung membiarkan dan mendorong masuknya hot money, akan menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investasi portfolio dunia.
Intervensi dari negara-negara maju maupun lembaga multilateral agar Indonesia tetap mempertahankan kebijakan sektor keuangan yang sangat longgar, tentu akan terus terjadi lewat berbagai cara. Mengapa? Tentu karena Indonesia menjadi semakin penting bagi investor asing. Sebagaimana diketahui sejak awal 2010 banyak negara seperti Thailand, Korea Selatan dan Brasil, telah menerapkan berbagai kontrol devisa untuk membendung masuknya dana-dana jangka pendek.
Pilihan Indonesia yang tidak berani melakukan kontrol devisa sangat disayangkan karena konsekwensinya kepemilikan asing di SUN, SBI dan saham akan terus menggelembung. Bila tahun 2008 total dana asing hanya sebesar Rp 548 triliun, telah menjadi sebesar Rp 1.374 triliun tahun ini dan pada tahun 2011 dipastikan akan jauh jauh lebih besar.
Tambahan lagi, kebijakan suku bunga SBI yang tinggi tentu ada konsekwensi mahalnya ongkos yang harus dibayar. Selain ancaman terjadi pembalikan modal, ongkos juga harus dibayar dengan modal Bank Indonesia yang akan terus tergerus karena harus membayarkan bunga bagi investor asing yang memborong SBI. Di sisi lain, para pengusaha juga harus membayar mahal suku bunga kredit dan harus memberikan keuntungan yang tinggi dari surat utang yang diterbitkannya.
Tidak berani berubah
Tahun 2011, dunia termasuk juga Indonesia, akan menghadapi krisis pangan dan energi. Perubahan iklim dan bencana akan menurunkan pasok pangan dunia terutama beras dan gandum. Menghadapi krisis tersebut seharusnya pemerintah SBY-Boediono berani melakukan koreksi kebijakan pangan dan energi.
Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dihilangkan sehingga harga pangan ditentukan oleh pasar, masyarakat bawah terus menghadapi beban gejolak kenaikan harga yang tidak sebanding dengan kenaikan pendapatannya. Demikian juga kenaikan harga energi terutama BBM dan juga TDL selama ini terbukti memberikan dampak negatif baik langsung maupun tidak terhadap ekonomi.
Sayangnya SBY-Boediono tidak akan berani memerintahkan para menterinya untuk mengoreksi liberalisasi pangan dan pengebirian Bulog yang dilakukan tahun 1998 lewat letter of intent IMF. Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi untk menghilangkan peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan adalah kebijakan yang menunjukkan tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada rakyat kelompok bawah.
Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. Meski kini sebagain saham Bernas telah menjadi milik publik, tetapi perannya dalam menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, bahkan masih dikontrol dengan harga patokan tertinggi.
Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebanyak 62% keluarga di Malaysia memiliki pendapatan minimal lima juta rupiah per bulan. Sangat tidak pantas bila pemerintah memilih menghilangkan peran pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap harga pangan, padahal di Indonesia 42% penduduk masih pada level sensisif terhadap kenaikan harga pangan pokok.
Sayangnya, sangat sulit berharap SBY-Boediono melakukan perubahan orientasi kebijakan ekonomi agar lebih berpihak kepada masyarakat bawah. Untuk mengatasi krisis pangan, tidak mudah membayangkan SBY-Boediono mengembalikan peran negara dalam stabilisasi pangan dengan mengembalikan peran Bulog dan mewujudkan kedaulatan pangan dengan dukungan perubahan kebijakan komprehensif karena akan ditentang oleh IMF dan Bank Dunia yang pada tahun 1998 mengusulkan pelemahan Bulog.
Apalagi untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berarti SBY-Boediono juga harus memprioritaskan gas alam untuk pabrik pupuk milik negara. Menyediakan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian dan menyusun kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri. Selain itu, tidak akan mungkin berani mengalokasikan anggaran lebih besar pada APBN untuk menyerap produksi beras dalam negeri karena alokasi anggaran yang besar dinilai tidak menerapkan prinsip disiplin anggaran yang diajarkan dalam konsep Konsensus Washington.
Terbukti, ditengah beban masyarakat yang semakin berat kenaikan harga pangan yang cukup tinggi selama tahun 2010, SBY-Boediono justru membiarkan para menterinya melakukan pengurangan subsidi BBM di tahun 2011. Padahal kebijakan tersebut akan beresiko karena belum ada persiapan matang. Penghematan anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi ini tidak akan sebanding dengan ongkos yang akan ditanggung ekonomi lewat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi.
Apalagi berharap SBY-Boediono melakukan pembatasan terhadap dana asing jangka pendek karena saat kampanye Boediono berjanji kepada investor asing bahwa tidak akan merubah kebijakan dan tidak akan mengganggu kepentingan mereka di sektor keuangan. Jadi jangan berharap tahun ini Boediono akan berubah untuk lebih memprioritaskan pembangunan sektor-sektor ekonomi yang menyangkut kehidupan sebagian besar rakyat bawah yakni pertanian, industri dan perdagangan karena memang SBY-Boediono tidak pernah dijanjikan. ( suara-islam.com )
No comments:
Post a Comment