Pidato SBY Masih Mengambang ... !!!

Pidato SBY Masih Mengambang ... !!! - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, ketahanan pangan belum merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga perlu upaya keras untuk mencapai swasembada pangan.

"Ada daerah yang surplus, ada daerah yang minus," kata Presiden dalam sambutan acara pemberian Penghargaan Ketahanan Pangan Nasional 2010 di Istana Negara, Jakarta, Jumat.


Menurut Presiden, salah satu cara untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah meningkatkan produksi pangan di daerah yang dianggap minus. Namun demikian, Yudhoyono menyadari hal itu tidak semudah yang dibayangkan.




http://suaramedia.com/images/resized/images/stories/4berita/2-12-nasional/sby-mundur_yo_200_200.jpg
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, ketahanan pangan belum merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga perlu upaya keras untuk mencapai swasembada pangan. (foto: yogyaonline.net)


Presiden meminta seluruh rakyat dan instansi pemerintah saling membantu untuk meningkatkan keterhubungan antarwilayah. Yudhoyono juga berharap sarana dan prasarana transportasi bisa diperbaiki, sehingga distribusi pangan bisa berjalan lancar.

Distribusi pangan yang baik, kata presiden, akan memperbaiki pemerataan ketahanan pangan.

Presiden juga meminta rakyat untuk meningkatkan produksi tanaman pangan untuk mewujudkan swasembada pangan. "Swasembada untuk komoditas pangan tertentu adalah tantangan yang harus kita jawab," katanya.


Kepala Negara berharap, seluruh rakyat Indonesia hingga satuan terkecil di tingkat keluarga turut berperan dalam meningkatkan produksi pangan dengan menanam berbagai jenis tanaman pangan di pekarangan rumah.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Penghargaan Ketahanan Pangan Nasional kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X.


Sultan Hamengkubuwono X menerima penghargaan itu atas prestasi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam ketersediaan pangan yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi dan palawija.


Yogyakarta juga dianggap berhasil dalam meningkatkan produksi ikan dan ternak. Kemudian, pemerintah menganggap Yogyakarta berhasil mengembangkan penyaluran minyak goreng bersubsidi dan pengembangan cadangan pangan melalui lumbung pangan.


Pemerintah juga Penghargaan Ketahanan Pangan Nasional dan Peningkatan Produksi Beras Nasional di atas lima persen kepada tiga provinsi, yaitu Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.


Sementara itu, setelah kecewa dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta, masyarakat Kota Gudeg berharap pidato Presiden bisa mengobatinya. Kamis kemarin, mereka pun serius mendengarkan pidato itu melalui acara nonton bareng yang digelar di beberapa posko keistimewaan. Dalam sepekan terakhir, posko keistimewaan ramai dibentuk warga terkait tidak jelasnya pemerintah pusat menyikapi keistimewaan Yogyakarta.

Namun, harapan itu sirna. Menurut mereka, pidato Presiden SBY tidak memuaskan karena tak secara tegas menjelaskan soal keistimewaan Yogyakarta. "Sangat tidak memuaskan karena logikanya segera berpikir melangkah ke rencana untuk penetapan, tapi ternyata masih memikir sampai lima tahun ke depan," kata Sukiman, Ketua Paguyuban Duku. "Terkesan mengulur-ulur waktu ini, dia, saya katakan Presiden yang cuci tangan dengan Undang-undang Keistimewaan."

"Pidato SBY masih mengambang, masih belum ada kejelasan," ucap Gunawan, pedagang. "Masih belum ada kejelasan jika belum ada penetapan seperti yang diinginkan banyak masyarakat di Yogya," komentar Dasa Saputra, karyawan swasta.


Kekecewaan rakyat Yogya bermula dari draft RUU Keistimewaan Yogyakarta. Pasal 11, misalnya, menempatkan Sultan Hamengkubuwono X dan Paku Alam hanya sebagai simbol, penjaga budaya, serta pemersatu warga Yogja. Sedangkan kepala pemerintahan, yaitu gubernur dan wakil gubernur dipilih sesuai dengan perundang-undangan.


Sebagian warga Yogya menilai draft RUU tersebut melupakan jasa besar Yogyakarta dan Keratonnya pada Republik Indonesia di masa revolusi. Padahal, begitu republik ini terbentuk, Kerajaan Ngayogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman langsung menyatakan bergabung. Bahkan saat situasi keamanan di Jakarta bergolak, Januari 1946, Ibu Kota Republik dipindahkan ke Yogyakarta hingga Desember 1949.


Saat itu, semua kegiatan dan pembiayaan negara ditanggung Kesultanan Ngayogyakarta. Atas jasa itulah, Maret 1950 keluar Undang-undang nomor 3 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejumlah undang-undang kemudian muncul dan tidak sedikitpun mengusik Keistimewaan Yogyakarta. Baru pada RUU yang masih akan dibahas bersama DPR, rakyat Yogyakarta ingin memastikan keistimewaan itu tidak hilang. (
suaramedia.com )





Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!



No comments:

Post a Comment