Kisah Warga Australia Yang Selamat Dari Amukan Tsunami Mentawai

http://suaramedia.com/images/resized/images/stories/4berita/1-10-nasional/korban-tsunami_rt_200_200.jpg
Warga Australia yang menjadi korban tsunami. Gempa bumi dan tsunami yang menghantam Kepulauan Mentawai awal pekan ini tidak hanya menimbulkan malapetaka bagi penduduk setempat. Sejumlah warga Australia turut merinding saat mengenang kembali amukan alam itu. (foto: Reuters)


Kisah Warga Australia Yang Selamat Dari Amukan Tsunami Mentawai - Empat pengungsi Gunung Merapi melahirkan di Rumah Sakit Umum Daerah Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sedangkan tiga lainnya masih menanti persalinan.

"Sehari setelah Merapi meletus, kami menangani empat persalinan, sedangkan tiga ibu hamil lainnya hingga saat ini masih menunggu kelahiran bayinya," kata Pelaksana Tugas Direktur RSUD Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dr. Sasongko, di Magelang, Kamis.

Empat di antara tujuh ibu hamil yang bersalin di rumah sakit setempat, sehari setelah erupsi Selasa (26/10) petang itu adalah Mujiyati (29), warga Cabe Kidul, Kecamatan Srumbung dan Supriati (34), warga Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, masing-masing melahirkan bayi laki-laki dengan berat badan 3,2 kilogram dan 3,5 kilogram.

Budiati (23), warga Sumber, Kecamatan Dukun dan Sumini (39), warga Kamongan, Kecamatan Srumbung, masing-masing melahirkan bayi perempuan seberat 3,5 kilogram dan 2,5 kilogram.

Tiga ibu hamil yang masih menunggu persalinan adalah Priyanti, Narmi dan Muslimah, ketiganya warga Srumbung.

Ia mengatakan, Muslimah yang usia kehamilannya 27 minggu terjatuh saat mengungsi sehingga kandungannya berkontraksi.

"Pasien kemudian mendapat perawatan intensif dan saat ini kondisinya sudah stabil," katanya.

Dia juga mengungkapkan, hingga saat ini telah merawat 92 pasien korban erupsi Merapi. 46 di antaranya telah pulang, sedangkan 41 pasien masih dirawat dan seorang meninggal dunia yakni bayi berumur tiga bulan bernama Ilham Azaki karena infeksi saluran pernafasan akut saat mengungsi.

Sementara itu, gempa bumi dan tsunami yang menghantam Kepulauan Mentawai awal pekan ini tidak hanya menimbulkan malapetaka bagi penduduk setempat. Sejumlah warga Australia turut merinding saat mengenang kembali amukan alam itu.

Para turis saat itu sedang berselancar dan menikmati keindahan pemandangan laut di lepas pantai Kepulauan Mentawai. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa liburan itu berlanjut dengan perjuangan meloloskan diri dari maut. Sejumlah saksi mengungkapkan ketegangan mereka itu ke media massa Australia.

Cerita dimulai saat dua kapal sewaan yang berisi sekelompok warga Australia melepas jangkar di laut pulau Pagai Selatan, Sumatra Barat, Senin sore, 25 Oktober 2010. Mereka tengah beristirahat setelah menikmati laju ombak besar di perairan tersebut.

Kapal MV Midas dan Freedom 111 tidak menyadari bahwa pada Senin malam, pukul 21.42 WIB, terjadi gempa berkekuatan 7,7 SR terjadi di dasar Samudera Hindia. Sekitar 15 menit kemudian, muncul gelombang raksasa dan melibas semua yang dilaluinya.

Kapten kapal Midas, Rick Hallet, mengatakan bahwa para penumpangnya yang terdiri dari sembilan warga Australia sedang bersantai di geladak saat mereka merasakan guncangan yang diikuti oleh suara bergemuruh.

“Kami merasakan sedikit guncangan di bawah kapal, lalu dalam hitungan menit kami mendengar suara bergemuruh yang hebat,” ujar Hallet seperti dilansir dari laman harian Couriermail.

Hallet langsung dapat menduga bahwa yang didengarnya adalah gemuruh tsunami, dan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Saya langsung mengira bahwa itu adalah tsunami dan melihat ke laut. Saat itulah kami melihat tembok air berwarna putih menuju ke arah kami,” ujar Hallet dari kediamannya di Sydney.

“Pantai hanya berjarak beberapa ratus meter dan dinding air putih itu melaju dari arah lain. Sangat menakutkan,” lanjut Hallet lagi.

Kapal Freedom 111 yang membawa enam warga Sydney adalah yang pertama merasakan tsunami. Hallet mengatakan bahwa kapal yang dijangkarkan tepat di samping kapalnya tersebut terbawa gelombang dan menuju tepat ke arahnya.

“Gelombang besar mengangkat kapal dan membawanya ke arah kami dan langsung menabrak. Kapal kami meledak dan terbakar. Api terlihat di geladak belakang dan merambat ke seluruh kapal dalam hitungan detik,” ujar Hallet.

Hallet langsung memerintahkan awak kapal dan para penumpang untuk melemparkan semua yang bisa mengapung ke laut. Lalu mereka semua menyelamatkan diri dengan melompat ke arus deras Samudera Hindia.

“Sekelompok orang yang terdiri dari enam atau tujuh orang tersapu hingga 200 meter ke tengah pulau. Beberapa lainnya tidak tersapu sejauh itu, namun segera setelah gelombang berhenti, kami memanjat apapun yang bisa dipanjat setinggi mungkin. Lalu terjadi lagi, mungkin, empat gelombang tsunami di bawah kami selama hampir setengah jam,” tutur Hallet.

Kapten kapal Freedom III, Lee Clarke, mengatakan bahwa para penumpang dan awak kapalnya tersapu hingga ratusan meter ke dalam hutan. Mereka semua ditemukan selamat dengan hanya mengalami luka ringan.

“Semuanya selamat, syukurlah, saya sangat senang,” ujar Clarke seraya menambahkan bahwa para penumpang ingin pulang ke negaranya secepatnya.

Clarke yang telah menyewakan kapal di pulau Mentawai selama enam tahun mengatakan bahwa itu adalah pengalaman terburuknya selama ini. Jika tidak terjadi tsunami, seharusnya pelayaran itu adalah yang terakhir sebelum Freedom III menuju Thailand. Bagi kapal Midas, pelayaran itu juga merupakan yang terakhir pada musim selancar tahun ini.

Namun, nasib baik tidak dialami oleh kapal Southern Cross yang turut juga dalam rombongan kapal mereka. Kapal tersebut beserta sembilan warga Australia di atasnya hilang tersapu tsunami dan kehilangan kontak.

Barulah pada Selasa, 26 Oktober 2010, kapal mereka ditemukan dengan seluruh penumpang selamat. Kapal tersebut mengalami gangguan sinyal komunikasi sehingga tidak bisa menghubungi siapa-siapa. ( suaramedia.com )




Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!



No comments:

Post a Comment