Ibu Negara Kristiani ( Ani ) Yudhoyono Larang Reporter Berjilbab Saat Wawawancara?.Berita mengejutkan beredar melalui mailing list, forum diskusi dan blog di internet. Seorang reporter AntaraTV dikabarkan harus melepas jilbab saat melakukan wawancara eksklusif dengan Ibu Negara, Ny Ani Yudhoyono, tanggal 21 April 2010, dalam rangka Hari Kartini. Wartawati bernama Siti Zulaikha itu, sehari-hari diketahui berjilbab.
Berita di bawah ini diambil dari tulisan yang dibuat oleh Rachmad Yuliadi Nasir yang diposting di kompasiana.com. Inilah kutipan isi berita tersebut:
ISTANA LARANG JILBAB UNTUK REPORTER ANTARATV
(KompasianaBaru-Jakarta) Istana kepresidenan bertingkah lagi, kali ini mereka mengharuskan wartawan wanita salah seorang reporter AntaraTV untuk melepaskan jilbabnya saat wawancara dengan Ibu Presiden Ani Yudhoyono. Jilbab merupakan salah satu penutup kepala untuk seorang wanita muslim, aneh kalangan protokoler berbuat begitu, kita perhatikan biasanya kalangan wanita yang bertugas di Istana mereka mengenakan jilbab mereka, apakah karena ini wawancara dengan Ibu Ani jadi harus dibuka jilbabnya?
Ini terjadi pekan-pekan kemarin, dari salah satu sahabat yang menyaksikan siaran AntaraTV tersebut mengatakan,”Dengan bu Ani jilbab harus dibuka toh…? hehehe…selamat dengan pengalaman pertamax, pada hari Rabu, 21 April jam 14:57,” Reporter AntaraTV yang menjadi “Korban” tersebut yaitu Zulek Zulaikha mengaku stess dengan aturan protokoler tersebut, “Jelek ya, aku sadar kok “ngga” banget dah stress dengan aturan protokoler, pada hari Rabu, 21 April jam 16:00, “
Bagaimana bisa ini terjadi di negara Indonesia yang penduduk muslimnya terbesar di dunia? Sedangkan di negara Eropa yang masyarakat muslimnya minoritas mati-matian mempertahankan jilbabnya, tetapi di indonesia malah disuruh buka. Apalagi aksi-aksi pelajar yang baru lulus dari sekolah, mereka juga seenaknya melepaskan jilbab karena sudah lulus dari sekolah. Aksi Buka Jilbab Warnai Konvoi Kelulusan Siswa, Aksi membuka jilbab mewarnai konvoi kelulusan siswa/siwi SMA/MA dan SMK di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, pekan yang lalu. Siswi yang biasanya diharuskan menggunakan jilbab, saat konvoi tidak lagi menggunakan jilbab. Bahkan jilbab para siswi ini dijadikan bendera sambil berboncengan dengan teman laki-laki mereka.
Para siswi ini juga merayakan kelulusan dengan menggunting rok. “Pakaian ini sudah tidak akan saya pakai lagi, karena sudah lulus,” kata salah seorang siswi SMA di Jalan Pintu Gerbang, dengan wajah ceria. Aksi lepas jilbab dan gunting rok para siswa SMA di Pamekasan ini merupakan salah satu aksi yang dilakukan para siswa dalam merayakan kelulusan ujian nasional (UN) di Kabupaten Pamekasan. Selanjutnya para siswa ini bergabung dengan rombongan konvoi lain yang terpusat di jalan Kabupaten depan kantor rumah Dinas Bupati Pamekasan. Dari lokasi ini, para peserta konvoi kemudia bergarak menuju Jalan Trunojo Pamekasan. “Kami akan merayakan kelulusan di pantai Camplong Sampang,” kata salah seorang peserta konvoi Ainur.
Remaja dengan rambut dicat warna merah mengaku, di pantai Camplong para siswa akan melakukan balapan bersama para siswa dari Kabupaten Sampang. Sementara para siswi yang sudah melakukan aksi lepas jilbab dan gunting rok juga terlihat bersama rombongan peserta konvoi. Bahkan ada yang berboncengan dengan cara berdiri.
Kita perlu baca pemikiran-pemikiran segar agar mampu menjelaskan fenomena ‘aksi buka jilbab’ ini. Dunia Indonesia di masa depan adalah milik mereka. Jika mereka melakukannya sekarang bapak-bapak dan ibu guru serta senior memang jelas akan membuat mereka tidak berkutik. Mereka memang tidak berkutik, tetapi pasti masih akan hidup dan menjadi besar seperti bapak-bapak dan ibu-ibu. Namun ketika kemudian mereka sudah saatnya menjalankan era kepemerintahan mereka, maka mereka akan muncul dengan dunia baru yang mereka kehendaki.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Akhir-akhir ini terdapat fenomena islamophobia di negara-negara Eropa marak, mulai dari kartun pelecehan Nabi saw. di Denmark hingga larangan membangun menara masjid di Swiss. Termasuk di antara ekspresi Islamophobia adalah adanya larangan jilbab seperti yang terjadi di Perancis dan pembunuhan seorang wanita muslimah Mesir di tengah persidangan pengadilan di Jerman lantaran membela kehormatan dirinya sebagai wanita berjilbab.
Dari Eropa dilaporkan bahwa Presiden Prancis Nicolas Sarkozy akan mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai larangan memakai burqa ke parlemen Mei mendatang. Juru bicara Luc Chatel, Rabu 21 April 2010, mengatakan,” Sarkozy akhirnya memutuskan terus maju untuk mengesahkan larangan pemakaian jilbab dan semacamnya di tempat umum.”
Ini merupakan langkah politis pertama yang diambil Sarkozy mengenai larangan tersebut meski berulang kali dia menegaskan bahwa pakaian seperti burka dan niqab mengekang perempuan dan tidak bisa diterima di Prancis, negara dengan pemerintahan sekuler. Sarkozy menekankan bahwa segala sesuatu harus dilakukan tanpa membuat seseorang merasa terstigma. Menurut Sarkozy, pakaian tertutup perempuan muslim tidak menimbulkan persoalan agama, tetapi mengancam martabat perempuan.
Prancis merupakan kediaman populasi muslim terbesar di Eropa barat. Hanya sedikit sekali perempuan Prancis muslim yang mengenakan kerudung yang menutupi seluruh wajah, tetapi isu pencekalan ini diperdebatkan karena terkait dengan identitas nasional, hak umat beragama di masyarakat sekuler Prancis, dan integrasi penduduk imigran Prancis. ”Denmark adalah masyarakat demokratis dan terbuka di mana kita melihat muka orang yang berbicara dengan kita, entah itu di ruang kelas atau di tempat kerja,” lanjutnya. “Itulah kenapa kami tidak ingin melihat garmen itu dalam masyarakat Denmark,” ujarnya.
Rasmussen mengatakan,”Pemerintahannya yang berhaluan tengah-kanan sedang mencari cara untuk membatasi pemakaian burka dan niqab tanpa melanggar konstitusi negara Skandinavia tersebut.” Pernyataan Rasmussen dikeluarkan satu hari setelah sebuah laporan dari University of Copenhagen mengenai jumlah pemakai burka di Denmark dipublikasikan. Jumlah perempuan pemakai burka disebutkan sangat jarang. Sedangkan perempuan muslim pemakai niqab ada sekitar 100 hingga 200 orang.
Sekitar 100.000 perempuan muslim tinggal di Denmark. Jumlah itu mewakili sekitar 1,9 persen populasi keseluruhan Denmark yang berjumlah 5,5 juta jiwa. Sekitar 0,15 persen perempuan muslim mengenakan niqab. Denmark pernah memiliki hubungan buruk dengan negara-negara muslim akibat diterbitkannya kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad pada 2005. Sejumlah negara di Eropa seakan berlomba. Secara simultan, mereka mengusung pelarangan cadar dan jilbab. Belgia, misalnya, telah mengusung larangan pemakaian cadar dan pakaian Islam lainnya yang sepenuhnya membalut tubuh perempuan Muslim.
Sebelumnya, Prancis juga mendorong larangan yang sama. Demikian pula, dengan Belanda. ”Sebagian besar partai mendukung larangan ini,” kata Leen Dierick, seorang anggota parlemen Belgia dari kubu konservatif. Ia mengatakan, usulan pelarangan cadar telah mendapatkan dukungan mayoritas anggota parlemen. Diharapkan, kata Dierick, pada Juli mendatang usulan rancangan itu akan menjadi undang-undang. Jika telah berlaku efektif, pelarangan bagi perempuan Muslim mengenakan pakaian yang sepenuhnya menutup tubuh dan wajahnya berlaku di tempat-tempat publik, termasuk di jalan.
Selama ini sejumlah pemerintah kota di Belgia memberlakukan larangan pada pakaian semacam itu. Namun pemerintah lokal belum sepenuhnya menerapkan kebijakan tersebut. ”Intinya adalah keamanan publik, bukan karena pertimbangan kebebasan agama,” kata Dierick. Namun, ada beragam alasan dalam upaya pelarangan itu. Munculnya simbol-simbol Islam, seperti jilbab termasuk cadar, dikhawatirkan menggerus identitas sebuah negara. Alasan ini berbaur dengan keluhan bahwa imigran, yang sebagian besar Muslim, telah mengurangi kesempatan kerja warga asli negara Eropa.
Anggota parlemen Belgia, Filip Dewinter mengatakan ,”kebanyakan politisi mendukung pelarangan cadar dan pakaian semacamnya karena khawatir kehilangan dukungan.” Bahkan kubunya merupakan pihak yang pertama kali mengajukan usulan itu. Persoalan dukungan politik juga menjadi alasan Freedom Party yang dipimpin oleh Geert Wilders melakukan sikap anti-Islam, termasuk mendorong pelarangan pemakaian jilbab. Partai tersebut berharap akan mendulang semakin banyak dukungan, terutama untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Wilders dan para pendukungnya menyatakan, Muslim mengancam nilai-nilai Eropa dengan mengenakan jilbab dan cadar. Di sisi lain, Wakil Presiden Belgian Muslim Executive, Isabelle Praile, mengatakan, larangan cadar sebenarnya tak perlu. Sebab, hanya sedikit perempuan Muslim yang mengenakan cadar. Langkah ini justru hanya menunjukkan adanya rasa Islamofobia. ”Bagi Muslim di Eropa, sebenarnya persoalan ekonomi, biaya hidup, dan perumahan yang layak menjadi isu yang lebih penting daripada mengkhawatirkan larangan cadar,” kata Praile.
Umar Mirza, seorang editor sebuah situs Muslim Belanda, We’re Staying Here , mengatakan, “Masih terjadinya perdebatan mengenai jilbab menunjukkan komunitas Muslim belum sepenuhnya diterima.” Padahal di Inggris, mereka membuat seragam khusus bagi perempuan berjilbab. Menurut dia, ini menunjukkan kemauan baik dari pemerintah dan meningkatkan partisipasi Muslim di dalam masyarakat. Solidaritas pun datang dari para perempuan Afghanistan. Seorang aktivis perempuan, Shinkai Karokhail, mengatakan, ada standar ganda yang dilakukan negara-negara Eropa dalam pelarangan jilbab dan cadar. Mereka mengaku negara demokratis, tetapi menetapkan batasan pada perempuan Muslim. ”Negara-negara demokratis mestinya tak melakukan kediktatoran, dan perempuan Muslim seharusnya juga tak dihalangi untuk berkesempatan mengenakan pakaian yang diyakininya. Semua sepatutnya didasarkan pada keputusan para perempuan itu sendiri,” kata Karokhail.
Gejala Islamophobia ini tidak hanya terjadi di negara-negara Eropa dimana umat Islam minoritas di sana, namun juga terjadi di Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Gejala pelarang jilbab ini sudah marak pada tahun 1980an, dan kini mulai muncul kembali. Terutama hal ini terjadi di berbagai perusahan swasta yang dimiliki oleh orang-orang non muslim. Sebut saja kasus di Probolinggo, kasus Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi serta Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) Jatinegara Jakarta.
Dahulu RSMI melarang sama sekali pegawainya mengenakan kerudung dan jilbab. Namun berkat perjuangan dari para karyawati berjilbab, pihak manajemen RSMI akhirnya membuat seragam yang mengakomodasi jilbab, bahkan pihak RSMI meminta sertifikat syariah kepada MUI untuk jilbab yang mereka disain untuk pakaian seragam muslimah karyawati mereka. Hanya saja dalam SOP pakaian seragam karyawati mulimah tersebut ditetapkan bahwa para karyawati muslimah berjilbab wajib memasukkan kerudung (dalam bahasa Arab kata kerudung disebut khimar, bentuk jamaknya khumur) mereka ke dalam baju mereka. Inilah yang menjadi pangkal persoalan dari tindakan skorsing dan akan dilanjutkan dengan pemecatan oleh RSMI kepada tiga orang karyawati mereka yang menolak memasukkan kerudung mereka ke dalam baju mereka.
Masalah pemecatan ketiga karyawati RSMI yang telah dikenakan skorsing akibat menolak memasukkan kerudung ke dalam baju mereka telah menjadi sengketa ketenaga kerjaan dan DIsnaker Jakarta Timur menyatakan bahwa tindakan pemecatan ketiga karyawati tersebut dengan alas an tersebut dianggap melanggar UU Ketenagakerjaan karena masalah memasukkan kerudung dalam baju yang terdapat dalam SOP belum dimasukkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sehingga Disnaker menganjurkan agar tidak terjadi pemecatan Dan ketika masalah ini telah mendapatkan liputan media massa serta telah mendapatkan reaksi keras masyarakat, khususnya para aktivis ormas-ormas Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), pihak RSMI menyampaikan bahwa mereka akan memenuhi ajuran Disnaker Jakarta Timur, yakni akan mempekerjakan kembali ketiga karyawatinya dengan memenuhi PKB baru antara RSMI dengan serikat pekerja RSMI.
Tentu sikap yang kelihatan “melunak” dari RSMI perlu diwaspadai mengingat dalam PKB yang baru tentunya SOP yang mewajibkan karyawati muslimah berjilbab memasukkan kerudungnya ke dalam baju seragam mereka. Artinya, ketiga karyawati yang kena masalah tersebut toh akhirnya akan dipecat dan pihak RSMI dinyatakan tidak melanggar UU Ketenagakerjaan.
Semoga aturan protokoler Istana yang salah harus diubah, tidak bisa mereka bertindak sewenang-wenang begitu saja melarang wartawan wanita AntaraTV, Zulek Zulaikha untuk membuka jilbabnya. ( voa-islam.com )
Ceritanya diberesin dulu dong gan, jangan maen lompat gitu aja... Gmana ente, crita tentang istana blom beres malah ngomongin abg gila yang baru lulus...
ReplyDeletesaya meragukan keislaman dia...
ReplyDeleteArtikel kalau copas yang bener, di artikel asli sudah dikonfirmasi kalau wartawan antaranya sendiri yang mencoplot jiblab
ReplyDeleteaturan darimana tuh??
ReplyDeleteibu presiden macam apa kayak gitu, ngakunya muslim tapi gak ada penghargaan sama sekali, dasar gak tahu malu, dia seharusnya mikir, dia kepilih ntu karena pas kampanye sama ibu-ibu majelis taklim pura-pura pake jilbab.
ReplyDeletejangan-jangan isu yang beredar sebelum pemilu yang dulu kalo dia nonis itu benar.
kalo memang berita ini benar, berarti tunggu lagi bentar lagi jilbab akan dilarang di indonesia
duh mana yang bener nih....
ReplyDelete@Anonymous : Artikel kalau copas yang bener, di artikel asli sudah dikonfirmasi kalau wartawan antaranya sendiri yang mencoplot jiblab....
Modal Rp 10 ribu dapatkan Mobil Rp 100 juta,lihat di SINI