Gesang adalah sosok yang berpribadi sangat sederhana
Gesang adalah sosok yang berpribadi sangat sederhana -Tidak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa menjadi legenda di masyarakat. Tidak banyak pula di antara mereka yang bertahan hingga usia 92 tahun.
Dari yang sedikit itulah maestro keroncong asal Solo (Jawa Tengah), Gesang Martohartono, bahkan telah membuktikan bahwa dalam usia senja itu masih banyak dibicarakan dan dikagumi oleh penggemarnya hingga akhir hidupnya.
Lagu-lagu ciptaannya sampai sekarang masih terus dinyanyikan oleh para artis atau penyanyi sekarang dan tidak hanya di dalam negeri saja, tetapi bahkan juga sudah sampai mendunia seperti lagu Bengawan Solo.
Penggemar-penggemar Gesang bahkan juga tidak jarang yang datang kerumahnya waktu itu hanya untuk bernostalgia baik mereka yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negr, kata Yani Effendi keponakan almarhum Gesang.
Gesang yang meninggal pukul 18.10 WIB Kamis (20/5) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo adalah putra kelima dari pasangan Ny Sumidah dengan Martodihardjo, yang dilahirkan di Solo, 1 Oktober 1917, dengan nama asli Sutardi, karna sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Gesang yang artinya "hidup".
Ibu kandung Gesang Ny Sumidah telah meninggal dunia ketika maestro keroncong ini berusia lima tahun, dan hanya sempat mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rakyat Ongko Loro sampai kelas 5.
Semasa mudanya Gesang adalah penyanyi pada Orkes Keroncong "Kembang Kacang" pimpinan Supinah. Di orkes inilah bakat Gesang sebagai penyanyi dan pencipta lagu berkembang.
Setiap lagu baru yang dihasilkannya, Gesang meminta kepada salah seorang pemain Orkes Keroncong Kembang Kacang untuk dimainkan pada gitar atau piano. Gesang mengaku bahwa ia kurang menguasai teori musik.
"Kalau menciptakan lagu, kira-kira dulu dalam pikirannya, hanya liriknya yang tulis, kemudian minta kepada teman untuk memainkan melodinya dengan alat musik," tuturnya.
Sederhana
Gesang adalah sosok yang berpribadi sangat sederhana. Dia tidak pernah mempunyai impian yang muluk-muluk. Baginya apa yang telah didapat merupakan kenikmatan tersendiri yang tidak pernah disesali, bagus maupun kurang berkenan, kata sutradara kondang Garin Nugroho, ketika menjengug jenazah almarhum Gesang di Rumah sakit PKU Muhammadiyah Solo, Kamis (20/5) malam.
Sebagai contoh, Gesang sudah sering diberitahu, bahwa Bengawan Solo, lagu ciptaannya, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Mandarin, Inggris dan Belanda, tetapi Gesang menanggapinya hampir tampa emosi.
Untuk persoalan ini justru yang peduli orang lain. Hal ini merupakan Gebesaran jiwa Gesang yang hidup dengan sederhana. "Seniman besar yang hidup seperti Gesang sekarang ini sudah jarang," katanya.
Tahun 1940, pada suatu senja di tepi Bengawan Solo yang indah, setelah sungai Solo yang sangat akrab dan melekat dengan batin sorang Gesang, datanglah inspirasi, bergelora dan bergolak dalam jiwa seni.
Itulah sebuah lagu yang kemudian membawa ketenaran dan keharuman, dan juga kebanggaan baik bagi Kota Solo maupun bangsa Indonesia, sebuah lagu yang terkenal di seluruh dunia, lagu "Bengawan Solo" telah lahir.
Lagu Bengawan Solo memang luar biasa dan tidak hanya untuk dinikmati, tetapi juga mempunyai makna yang dalam yaitu sebagai laboratorium lngkungan hidup. "Sampai sekarang jarang seniman yang menciptakan lagu dengan menggambar sungai seperti itu," kata Garing Nugroho.
Gesang banyak menciptakan lagu-lagu keroncong maupun langgam Jawa, tetapi sampai sekarang yang paling terkenal lagu Bengawan Solo.
Lagu "Bengawan Solo" terutama sangat disukai oleh masyarakat Tiongkok (China) dan Jepang, sehingga Gesang sempat berkunjung ke Tiongkok dan Korea Utara bersama Misi Kesenian Indonesia pada tahun 1963, kemudian berturut-turut pada tahun 1988, 1991 dan 1994 mendapat undangan untuk memperkenalkan musik keroncong di Jepang.
Terakhir pada tahun 1996 Gesang bersama rombongan delegasi kesenian PT Gema Nada Pertiwi mendapatkan kehormatan untuk tampil dalam acara khusus untuk dirinya "Malam Bengawan Solo", selama dua malam berturut-turut di Kota Shanghai, Tiongkok.
Dengan lagu Bengawan Solo, Gesang memang banyak sekali memperoleh imbalan. Berkat lagu itulah, Gesang juga diundang ke Jepang untuk menghadiri pesta musim dingin di Saporra selama satu minggu. Begitu pula pernah diundang tampil di Singapura.
Gesang pada usia ke 85 tahun yaitu tahun 2002 kembali masuk dapur rekaman, dan atas prestasinya itu pada tahun 2003 memperoleh sebuah piagam penghargaan " Usia Tertua Masuk Dapur Rekaman" dari Musium Rekor Indonesia (MURI).
Hingga kini, Gesang telah menciptakan lebih dari 40 lagu diantaranya Kr Piatu (1938), Kr Roda Dunia (1939), Bengawan Solo (1940), Saputangan (1941), Tirtonadi, Dunia Berdamai, KR Pemuda Dewasa (1942), Jembatan Merah (1943), Pandan Wangi (1949), Bumi Emas Tanah Airku, Sebelum Aku Mati (1963), Kau Selalu Dihatiku dan Kalung Mutiara (1972) dan lain-lain.
Dalam sekian banyak lagu ciptaannya, terdapat empat buah lagu yang pernah diproduksi menjadi lima buah film. "Bengawan Solo" dua kali, sementara "Jembatan Merah", "Saputangan " dan "Tirtonadi" masing-masing satu kali.
Meskipun Gesang juga menerima pembayaran ala kadarnya untuk film-film yang mengambil lagunya pada saat itu, namun tidak ada satupun yang tertinggal sebagai kenang-kenangan.
Sekarang Gesang tinggal di Jalan Gatot Subroto Gang II No 79 Solo, Jawa Tengah. Tempat kediamannya telah direnovasi tahun 2003, ini sering dikunjungi turis, terutama dari Jepang.
"Bengawa Solo" memang sangat populer di Jepang, sehingga sejumlah pengagum Gesang di Negeri sakura itu sempat mendirikan "Perhimpunan Dana Gesang" pada tahun 1980 dan beliau sengaja di undang ke Tokyo untuk meresmikan, kemudian Perhimpunan ini juga membagun Taman Gesang di Jurug persis di tepian Bengawan Solo, lengkap dengan patung setengah badan Gesang.
Gesang juga banyak mendapat tanda penghargaan, diantaranya Piagam Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Soeharto tahun 1992.
Selain itu Piagam Penghargan Membina melestarikan dan Mengembangkan Seni Musik Keroncong Sebagai Penyanyi dan Pencipta Lagu dari Menteri Pariwisata Seni dan Budaya Republik Indonesia, Marzuki Usman, tahun 1999, dan Piagam Tanda Penghargaan Budaya Bhakti Upapradana Tahun 1990 dari Gubernur Jawa tengah Ismail. ( antara.com )
No comments:
Post a Comment