Al-Azhar Universitas Tertua Di Dunia. Universitas al-Azhar semenjak berdiri sampai sekarang telah memberikan peranan penting bagi kemajuan peradaban Islam
Siapa tidak mengenal dan mendengar universitas tertua di dunia, yang telah mencetak ulama-ulama, pemikir besar, dan para cendekiawan terkenal di dunia. Di antaranya, ada Muhammad Abduh, Jalaludin al-Afghani, Rasyid Ridha, Abdul Halim Mahmud, al-Maraghi, Yusuf al-Qaradawi, dan sederatan ulama yang lainnya.
Al-Azhar Universitas Tertua Di Dunia
Universitas ini dibangun pada 361 H, bertepatan pada 972 M, oleh al-Muiz Lidinillah, Jauhar al-Shaqali. Ia seorang pemimpin pertama pada masa khilafah Fatimiyah di Mesir.
Awal pendirian al-Azhar, pertama hanya untuk menyebarkan pemikiran Syiah, yang menjadi salah satu aliran khilafah Fatimiyah pada waktu itu. Tetapi setelah Shalahudin al-Ayyubi memerintah Mesir pada 567 H (1171 M) – 589 H (1192 M), al-Azhar diubah menjadi Universitas Islam yang beraliran Sunni sampai sekarang ini.
Penamaan Universitas al-Azhar ini disandarkan pada penamaan salah seorang putri Nabi, yaitu Fatimah al-Zahra. Itulah sejarah awal, kenapa dinamakan Universitas al-Azhar.
Universitas al-Azhar ini, semenjak berdiri sampai sekarang, telah memberikan peranan penting bagi kemajuan peradaban Islam. Apakah itu, secara regional ataupun internasional. Skala internasional, Universitas al-Azhar telah memberikan ruang bagi umat Islam untuk belajar di sana. Di antaranya, banyak ulama dari belahan dunia yang belajar tentang Islam di universitas tersebut, sehingga al-Azhar memberikan warna tersendiri bagi umat Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Azhar telah memberikan pendidikan dan pemikiran moderat pada anak didiknya agar mereka benar-benar bisa memahami hakikat Islam sebenarnya. Nantinya diharapkan mereka bisa menjelaskan Islam pada dunia, bahwa Islam adalah ajaran yang memberikan kesejukan bagi umat manusia, sebagai “rahmatan lil’alamin”. Di situlah peranan Universitas al-Azhar di skala internasional.
Sedangkan, peranan al-Azhar di skala regional telah memberikan peranan penting bagi kemajuan peradaban Islam di Mesir itu sendiri. Sebagaimana kita lihat, al-Azhar dalam sejarahnya telah memberikan sumbangsih pada negara. Universitas Islam ini telah ikut andil dalam mengusir penjajah, saat Perang Salib dan Mamalik. Dan tidak berhenti di situ saja, ketika Prancis datang menjajah Mesir, universitas ini tetap ikut dalam pengusiran penjajah tersebut.
Para ulama al-Azhar mengomandoi rakyat dalam Revolusi Kairo pertama, pada 1798. Lalu, dilanjutkan dengan Revolusi Kairo kedua pada 1800, setelah Prancis keluar dari Mesir. Revolusi itu pun berakhir pada 1805, setelah terpilihnya Muhammad Ali sebagai pemimpin Mesir.
Begitu juga revolusi yang dilakukan oleh mahasiswa al-Azhar ketika melawan penjajah Inggris pada 1919 M. Revolusi itu dipimpin oleh Sa’ad Jaglul. Ia salah satu mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sana.
Pada 1956 M, Gamal Abdul Nasir di atas mimbar masjid al-Azhar mengumumkan tiga musuh besar yang harus dihadapi: Inggris, Prancis, dan Israel. Tetapi setelah beberapa kurun waktu, Al-Azhar sebagai salah satu universitas tertua di dunia mengalami perubahan signifikan. Dahulu puncak kedudukan tertinggi, Grand Syeikh, dipilih oleh ulama-ulama al-Azhar itu sendiri. Jabatan itu dipangku seumur hidup. Yang menduduki jabatan itu harus benar-benar mumpuni, karena seorang Grand Syeikh menentukan maju mundurnya al-Azhar ke depan dan memberikan kemajuan bagi peradaban umat di belantara dunia.
Tetapi, setelah al-Azhar bukan lagi sebuah universitas yang independen, maka keberadaannya pun di bawah naungan pemerintah Mesir. Penentuan Grand Syeikh dan Rektor pun tidak lagi ditentukan oleh ulama-ulama al-Azhar, tapi dengan Kepres Presiden.
Sebagaimana diungkapkan salah seorang dosen filsafat, yang juga tercatat sebagai salah satu anggota “Majma al-Buhuts Islamiyah”, Prof. Dr Mu’ti Bayumi, lewat koran Al-Awsat, 23/4/2010, mengatakan, “Pada dasarnya majma al-Buhuts Islamiyah, secara eksistensi tidak mampu menentukan seorang Grand Syeikh al-Azhar. Dengan demikian, dibutuhkan adanya suatu perubahan dalam anggota tubuh majma al-Buhuts itu sendiri agar bisa menentukan seorang Grand Syeikh. Tapi, karena indepedensinya telah hilang, maka itu sulit terjadi.
Hal ini, mengacu pada Kepres No. 101 tahun 1961, di mana pucuk kepemimpinan Grand Syeikh, Rektor, dan dekan-dekan kuliah ditentukan dengan Kepres tersebut. Padahal, al-Azhar pada masa Kekhalifahan Ustmaniyah, jabatan seorang Grand Syeikh pertama kali ditentukan oleh al-Azhar itu sendiri. Dan jabatan pertama pun dipangku oleh al-Syeikh Muhammad Abdullah al-Khurasyi pada 1690. Tetapi dalam perjalanan waktu, al-Azhar tidak lagi independen.
Begitu pula, ketika Prof. Dr. Muhammad Sayyid al-Thanthawi meninggal dunia, maka sebagai penggantinya harus sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemerintah, atau seorang Presiden. Dengan demikian, jabatan Grand Syeikh jatuh kepada Prof. Dr. Ahmad Muhammad al-Thayyib, walaupun keputusan itu menimbulkan kontroversi di sebahagian ulama-ulama al-Azhar.
Jauh dari kontroversial ini, al-Azhar dengan ideologi washathiyahnya selalu memberikan pembaharuan dalam peradaban Islam. Peranannya, tidak pudar dalam kemajuan peradaban umat. Ia selalu memberikan pembaharuan dan pemikiran yang segar pada umat. Dari awal berdirinya, hingga saat ini peranannya terus dinantikan.
Dari Grand Syeikh pertama, al-Syeikh Muhammad Abdullah al-Khurasyi, hingga Prof. Dr. Ahmad Muhammad al-Thayyib, Al-Azhar tetap eksis sebagai Universitas Islam yang memberikan kemajuan bagi peradaban umat Islam. Dan al-Azhar tetap menjadi kiblat bagi pendidikan Islam di dunia. Wallahu’alam. ( hidayatullah.com )
Siapa tidak mengenal dan mendengar universitas tertua di dunia, yang telah mencetak ulama-ulama, pemikir besar, dan para cendekiawan terkenal di dunia. Di antaranya, ada Muhammad Abduh, Jalaludin al-Afghani, Rasyid Ridha, Abdul Halim Mahmud, al-Maraghi, Yusuf al-Qaradawi, dan sederatan ulama yang lainnya.
Al-Azhar Universitas Tertua Di Dunia
Universitas ini dibangun pada 361 H, bertepatan pada 972 M, oleh al-Muiz Lidinillah, Jauhar al-Shaqali. Ia seorang pemimpin pertama pada masa khilafah Fatimiyah di Mesir.
Awal pendirian al-Azhar, pertama hanya untuk menyebarkan pemikiran Syiah, yang menjadi salah satu aliran khilafah Fatimiyah pada waktu itu. Tetapi setelah Shalahudin al-Ayyubi memerintah Mesir pada 567 H (1171 M) – 589 H (1192 M), al-Azhar diubah menjadi Universitas Islam yang beraliran Sunni sampai sekarang ini.
Penamaan Universitas al-Azhar ini disandarkan pada penamaan salah seorang putri Nabi, yaitu Fatimah al-Zahra. Itulah sejarah awal, kenapa dinamakan Universitas al-Azhar.
Universitas al-Azhar ini, semenjak berdiri sampai sekarang, telah memberikan peranan penting bagi kemajuan peradaban Islam. Apakah itu, secara regional ataupun internasional. Skala internasional, Universitas al-Azhar telah memberikan ruang bagi umat Islam untuk belajar di sana. Di antaranya, banyak ulama dari belahan dunia yang belajar tentang Islam di universitas tersebut, sehingga al-Azhar memberikan warna tersendiri bagi umat Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Azhar telah memberikan pendidikan dan pemikiran moderat pada anak didiknya agar mereka benar-benar bisa memahami hakikat Islam sebenarnya. Nantinya diharapkan mereka bisa menjelaskan Islam pada dunia, bahwa Islam adalah ajaran yang memberikan kesejukan bagi umat manusia, sebagai “rahmatan lil’alamin”. Di situlah peranan Universitas al-Azhar di skala internasional.
Sedangkan, peranan al-Azhar di skala regional telah memberikan peranan penting bagi kemajuan peradaban Islam di Mesir itu sendiri. Sebagaimana kita lihat, al-Azhar dalam sejarahnya telah memberikan sumbangsih pada negara. Universitas Islam ini telah ikut andil dalam mengusir penjajah, saat Perang Salib dan Mamalik. Dan tidak berhenti di situ saja, ketika Prancis datang menjajah Mesir, universitas ini tetap ikut dalam pengusiran penjajah tersebut.
Para ulama al-Azhar mengomandoi rakyat dalam Revolusi Kairo pertama, pada 1798. Lalu, dilanjutkan dengan Revolusi Kairo kedua pada 1800, setelah Prancis keluar dari Mesir. Revolusi itu pun berakhir pada 1805, setelah terpilihnya Muhammad Ali sebagai pemimpin Mesir.
Begitu juga revolusi yang dilakukan oleh mahasiswa al-Azhar ketika melawan penjajah Inggris pada 1919 M. Revolusi itu dipimpin oleh Sa’ad Jaglul. Ia salah satu mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sana.
Pada 1956 M, Gamal Abdul Nasir di atas mimbar masjid al-Azhar mengumumkan tiga musuh besar yang harus dihadapi: Inggris, Prancis, dan Israel. Tetapi setelah beberapa kurun waktu, Al-Azhar sebagai salah satu universitas tertua di dunia mengalami perubahan signifikan. Dahulu puncak kedudukan tertinggi, Grand Syeikh, dipilih oleh ulama-ulama al-Azhar itu sendiri. Jabatan itu dipangku seumur hidup. Yang menduduki jabatan itu harus benar-benar mumpuni, karena seorang Grand Syeikh menentukan maju mundurnya al-Azhar ke depan dan memberikan kemajuan bagi peradaban umat di belantara dunia.
Tetapi, setelah al-Azhar bukan lagi sebuah universitas yang independen, maka keberadaannya pun di bawah naungan pemerintah Mesir. Penentuan Grand Syeikh dan Rektor pun tidak lagi ditentukan oleh ulama-ulama al-Azhar, tapi dengan Kepres Presiden.
Sebagaimana diungkapkan salah seorang dosen filsafat, yang juga tercatat sebagai salah satu anggota “Majma al-Buhuts Islamiyah”, Prof. Dr Mu’ti Bayumi, lewat koran Al-Awsat, 23/4/2010, mengatakan, “Pada dasarnya majma al-Buhuts Islamiyah, secara eksistensi tidak mampu menentukan seorang Grand Syeikh al-Azhar. Dengan demikian, dibutuhkan adanya suatu perubahan dalam anggota tubuh majma al-Buhuts itu sendiri agar bisa menentukan seorang Grand Syeikh. Tapi, karena indepedensinya telah hilang, maka itu sulit terjadi.
Hal ini, mengacu pada Kepres No. 101 tahun 1961, di mana pucuk kepemimpinan Grand Syeikh, Rektor, dan dekan-dekan kuliah ditentukan dengan Kepres tersebut. Padahal, al-Azhar pada masa Kekhalifahan Ustmaniyah, jabatan seorang Grand Syeikh pertama kali ditentukan oleh al-Azhar itu sendiri. Dan jabatan pertama pun dipangku oleh al-Syeikh Muhammad Abdullah al-Khurasyi pada 1690. Tetapi dalam perjalanan waktu, al-Azhar tidak lagi independen.
Begitu pula, ketika Prof. Dr. Muhammad Sayyid al-Thanthawi meninggal dunia, maka sebagai penggantinya harus sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh pemerintah, atau seorang Presiden. Dengan demikian, jabatan Grand Syeikh jatuh kepada Prof. Dr. Ahmad Muhammad al-Thayyib, walaupun keputusan itu menimbulkan kontroversi di sebahagian ulama-ulama al-Azhar.
Jauh dari kontroversial ini, al-Azhar dengan ideologi washathiyahnya selalu memberikan pembaharuan dalam peradaban Islam. Peranannya, tidak pudar dalam kemajuan peradaban umat. Ia selalu memberikan pembaharuan dan pemikiran yang segar pada umat. Dari awal berdirinya, hingga saat ini peranannya terus dinantikan.
Dari Grand Syeikh pertama, al-Syeikh Muhammad Abdullah al-Khurasyi, hingga Prof. Dr. Ahmad Muhammad al-Thayyib, Al-Azhar tetap eksis sebagai Universitas Islam yang memberikan kemajuan bagi peradaban umat Islam. Dan al-Azhar tetap menjadi kiblat bagi pendidikan Islam di dunia. Wallahu’alam. ( hidayatullah.com )
No comments:
Post a Comment