Ternyata Malaysia Memang Lebih Hebat Dari Indonesia

Ternyata Malaysia Memang Lebih Hebat Dari Indonesia - Meneliti halaman Facebook Indonesia terutama terkait dengan diskusi seputar agama sangat mengejutkan. Diskusi tidak lagi bertujuan kepada mencari kebenaran akal yang sehat, tapi lebih menjurus kepada provokasi yang bisa memanaskan telinga.

Caci-maki antara penganut agama --terutama pendukung Kristen dengan Islam-- bisa ditemui di FB dengan mudah. Pendukung Kristen memperlecehkan Islam kemudian dibalas balik oleh pendukung Islam dengan juga pelecehan.

Serangan, kadang tidak hanya dijawab dengan ungkapan pendek, kadangkala disertakan dengan foto-foto yang berimejkan penghinaan kepada agama, tanpa memikirkan bahwa tindakan itu akan memberi kesan buruk kepada kerukunan hidup bermasyarakat.


http://hidayatullah.com/berita/gal825433922.jpg


Barangkali itulah namanya kebebasan media sudah benar-benar wujud di Indonesia. Setiap rakyat bisa meluahkan pendapat masing-masing, bahkan kepada yang melibatkan agama yang sangat sensitif.

Walhasil, sensitivitas agama itu paling terdepan ketimbang yang lain. Bagaimana kalau ketuhanan dan kenabian dipersenda-guraukan atau menjadi bahan lelocan, seperti kasus kartun Nabi. Walaupun hal itu hanya tersiar dalam alam cyber seperti FB, Twitter dan blog, tetapi media internet telah menjadi media baru yang sangat efektif dan jumlah pembacanya juga banyak dan jangkauan pencapaiannya hingga seluruh dunia.

Kasus Malaysia

Di Malaysia, pelecehan terhadap agama manapun mendapat perhatian berat. Undang-undang Malaysia sangat ketat dalam membendung rakyatnya dari mengeluarkan pendapat yang bisa menyinggung penganut agama lain.

Walaupun cuma disiarkan dalam FB, Twitter dan blog. Namun tindakan berat tersebut tidak pernah terlepas kepada individu berkenaan. Pengandali FB, Twitter atau blog tidak mungkin terlepas dari hukuman di bawah undang-undang Akta Hasutan. Akta ini buat bertujuan membendung ketegangan dan konflik agama yang dapat berlaku di Malaysia.

Namun Indonesia juga punya undang-undang khusus tentang kesalahan pelecehan agama seperti itu. Kasus terbaru ketika Anthonius Richmond Bawengan asal Manado, Sulawesi Utara melakukan provokasi agama di Temenggung Jawa Tengah.

Dengan menyebar buku “Ya Tuhanku Tertipu Aku” kepada kalangan umat Islam, dalam buku itu disebut Allah dan Rasulullah adalah penipu dan penjahat. Hajar Aswad di Ka’bah sebagai simbol kelamin perempuan dan Jamarat di Mina sebagai simbol kelamin lelaki. Dengan menyamar sebagai wartawan, akhirnya ia ditangkap polisi dan didakwa di mahkamah. Jaksa menjatuhkan hukuman penjara lima tahun. Walaupun ia menyesal dan mohon maaf kepada umat Islam namun masyarakat Islam di Temenggung tidak puas hati dan minta terdakwa dijatuhkan hukuman mati. Namun hukuman tetap sebagaimana diputuskan yakni lima tahun, maka kerusuhan pun pecah.

Di mana-mana, di hampir kasus di seluruh dunia – dalam kasus kaum non-Muslim melakukan provokasi, mengadu domba, mencipta berbagai isu yang menyakitkan hati umat Islam— sejarah membuktikan kaum Muslim termasuk paling sabar. Namun kesabaran umat Islam punya batas tertentu. Tidak selama-lamanya umat Islam dapat bertahan dengan berbagai bentuk provokasi yang dilemparkan.

Seperti juga halnya dengan isu Ahmadiyah. Penganut aliran yang diasaskan oleh Mirza Ghulam Ahmad ini bukan hanya menjalankan ibadat sesama jamaah dalam kelompok mereka saja bahkan sudah berani mengajak umat Islam lain menyertai ajaran sesat mereka. Justeru kebiadaban itu ternyata membangkitkan kemarahan umat Islam Indonesia.

Pemerintahan Indonesia (dalam kasus ini) masih belum menampakkan sikap yang jelas dan tegas, baik dalam mengakui Ahmadiyah sebagai agama baru, yang berarti Ahmadiyah harus meninggalkan simbol dan nama-nama Islam yang tetap dipakainya seperti kitab suci al-Quran, masjid dan tidak menganggap ada nabi terakhir setelah Nabi Muhamad saw. Sekaligus membuang kitab Tazkirah yang dipakainya dan tidak lagi menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhamad saw.

Seperti halnya Indonesia, gerakan Ahmadiyah terdapat di mana-mana. Di Eropah, Afrika dan Asia. Di Malaysia, markas aktivitasnya di Kg Nahkoda, Batu Cave, Selangor. Lokasinya di tengah-tengah permukiman mayoritas umat Islam. Sebuah bangunan tiga tingkat berkubah besar seperti masjid dibangun sejak puluhan tahun lalu berberapa meter dari pintu masuk ke perkampungan itu.

Di situlah pengikut Ahmadiyah atau Qadiani menjalankan aktivitas mereka. Bedanya dengan Indonesia, di Malaysia penganut Ahmadiyah tidak diiktiraf ( diakui ) sebagai Islam.

Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia, yakni sebuah badan yang dibentuk pemerintah Malaysia telah mengeluarkan fatwa sejajar dengan fatwa pemerintah Arab Saudi yang mengatakan ajaran Ahmadiyah telah keluar daripada Islam Karena mendakwa ada Nabi dan rasul lain (Mirza Ghulam Ahmad) sesudah Nabi Muhamad saw.

Maka posisinya di sisi undang-undang ialah taraf mereka sama dengan penganut agama-agama lain (Non-Muslim).

Namun, fatwa yang dikeluarkan itu sebenarnya ada buruk dan baiknya dalam konteks Malaysia.

Keburukannya adalah, Ahmadiyah bisa beroperasi atau mempraktikkan ibadatnya tanpa ada gangguan dari pemerintah selama ia menjalankan aktivitas sesama kelompoknya. Andaikata Majlis Fatwa Malaysia tidak menjatuhkan hukuman bahwa Ahmadiyah “sudah keluar daripada Islam” maka pihak berkuasa agama negeri - negeri di Malaysia bisa mengambil tindakan undang-undang kepada ketua dan pengikut mereka dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat.

Di Malaysia menyebarkan ajaran yang keluar dari syariat Islam bisa ditangkap dan di dakwa di mahkamah serta dipenjara. Tindakan pemerintah selanjutnya adalah merobohkan rumah ibadat mereka. ( hidayatullah.com )




Mungkin Artikel Berikut Juga Anda Butuhkan...!!!



No comments:

Post a Comment