Kekuatan itulah yang diusung Herjaka HS, demikian perupa itu dikenal,  dalam pameran tunggal di Tembi Rumah Budaya Sewon Bantul Yogyakarta.  Bertema “Kemboel Dewi Sri”, lukisan karya Herjaka akan dipamerkan selama  13 hari, dari 18-31 Desember 2010.
Kemboel,   menurut Herjaka, bisa bermakna dengan kegiatan : acara maka bersama.  “Ini  adalah semacam ajang menampilkan ekpresi Dewi dalam berbagai cerita,” kata Herjaka,  saat ditemui Tempo di ruang pameran, Minggu (19/12).
  Ada 30 karya lukisan Herjaka yang dipamerkan. Dipersiapkan sejak dua  tahun sebelumnya, 11 karya diantaranya dilukis di atas kertas dengan  menggunakan tinta. Semisal lukisan “Mencari Sri” yang berukuran 50 X 70  sentimeter dan “Pasangan Kesuburan” yang berukuran 34 X 48 sentimeter.  Karena dilukis dengan tinta maka hanya ada dua warna dalam  lukisan-lukisan itu, hitam dan putih. “Tapi itu yang membuatnya lebih  unik dan eksotis,” kata dia.  
Adapun sisanya, sebanyak 19  lukisan lainnya, dibuat dengan menggunakan cat minyak di atas kanvas.  Berbeda dengan lukisan kertas dengan tinta, lukisan dengan minyak itu  lebih semarak warnanya. Di antaranya adalah lukisan berjudul “Kemboel  Dewi Sri” yang berukuran 195 X 145 sentimeter dan “Sri Import” yang  berukuran 110 X 150 sentimeter.  
Herjaka mengaku memilih bentuk  wayang dalam menampilkan sosok Dewi Sri karena tak lepas dari  pengalaman masa kecilnya. Sebagai putra asli Yogyakarta, kehidupan  Herjaka tak lepas dari wayang. “Sejak kecil orang tua sering mengajak  nonton wayang,” kata dia.  
Kedua simbol itu, kepercayaan  masyarakat terhadap Dewi Sri dan wayang sebagai pengalaman masa kecil,  akhirnya bermuara menjadi satu ekspresi keprihatinan terhadap kondisi  pertanian saat ini. Hal itu dapat dilihat dari karya Herjaka berjudul  “Sei Buang” yang dibuat dengan cat minyak di atas kanvas berukuran 80 X  150 sentimeter.  
Di situ, Dewi Sri digambarkan tengah bersedih.  Karena proses yang dilakukan petani, saat panen tiba, bulir padi banyak  terbuang percuma. “Karena dipukul-pukulkan, bulir padi banyak  berserak,” kata dia. Cara itu, lanjut dia, tentu berbeda dengan yang  dilakukan petani di jaman dulu. Satu persatu dahan padi dipotong dengan  pisau kecil. “Biasa disebut ani-ani.” 
Secara umum, kata dia,  lukisan yang dia pemerkan adalah refleksi terhadap dunia pertanian.  Petani lebih memilih traktor daripada membajak dengan sapi. Pupuk kimia  lebih banyak digunakan daripada pupuk organik yang bisa didapat dari  kotoran sapi. Cara itu, memang lebih praktis. “Tapi lihat sekarang,  tanah menjadi tak subur lagi,” kata dia, “Bahkan cacing dan ulet pun  enggan hidup di sawah.” 
Pameran kali ini merupakan pameran  ke-11 yang digelar Herjaka. Enam di antaranya digelar secara tunggal,  salah satunya adalah “Kimboel Dewi Sri”. Dari 30 lukisan Dewi Sri yang  dia pamerkan saat ini, satu di antaranya dibuat pada 1998. Yakni,  lukisan berjudul “Sri Wiji” yang dilukis dengan cat minyak di atas  kanvas berukuran 80 X 60 sentimeter. Adapun 29 lukisan lain, dibuat  antara tahun 2008-2010. “Karena temanya sama, Dewi Sri.” ( tempointeraktif.com )
 
No comments:
Post a Comment